ZAKAT PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
TUGAS INDIVIDU
SEMESTER VIIC
MATA KULIAH : FIQIH
PRAKTEK
NAMA DOSEN
:
![]() |
OLEH :

SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM
MAHMUDIYAH JAM’IYAH
TANJUNG PURA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Sang Illahi
Robbi yang mana atas berkat dan Rahmat-Nyalah kami bisa menyelesaikan
makalah ini, tak lupa sholawat dan salam marilah kita limpah curahkan kepada
Guru besar kita Yakni Nabi Muhammad SAW, tanpa adanya beliau
mungkinkah kita terbebas dari zaman kebodohan.
Dalam makalah ini penulis membahas
tentang , zakat Pertanian dan Perkebunan makalah
ini kami tujukan untuk memenuhi tugas individu Praktek Fiqih. Makalah ini
diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi yang membutuhkan baik bagi dunia
pendidikan ataupun para akademisi yang ingin meningkatkan atas pengetahuanya.
apabila ada kesalahan dalam makalah ini kami mohon maaf yang sebesar
– besarnya, karena kealpaan, kehilafan itu adalah sifat manusia yang nyata
didunia, maka segala saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kemajuan,
sangat kami harapkan.
Akhir kata dari penulis mengucapkan
banyak terima kasih.
Tanjung
Pura, 20 Januari 2015
LAILAN SAFINAH
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………….…… i
Daftar Isi…………………………………………………………………………….. ii
Bab I …………………………………………………………………………………
Pendahuluan………………………………………………………………………....
A. Latar
Belakang………………………………………………………….…….
B. Rumusan Masalah
……………………………………………………………
C. Tujuan
Penulisan………………………………………………………………
Bab II ………………………………………………………………………………..
Pembahasan…………………………………………………………….…………….
- Pendekatan Al-Qur’an……………………………………………………….
- Pendekatan Hadist…………………………………………………………...
- Pendekatan Ushul Fikih……………………………………………………..
- Pengertian Zakat Mall………………………………………………………..
- Pertanian Dalam Islam………………………………………………………
- Peraturan zakat Di Indonesia………………………………………………..
Bab III ……………………………………………………………………………….
Penutup……………………………………………………………………………….
A. Kesimpulan…………………………………………….;;…………………….
Daftar Pustaka……………………………………………………………………….. iii
i
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Membayar zakat
adalah salah satu dari lima rukun Islam. Oleh karena itu, mengamalkannya adalah
sebuah kewajiban bagi siapapun yang telah memenuhi persyaratannya.meski
demikian, tak sedikit dari umat Islam yang belum mengetahui secara eksplisit
perihal zakat. Kebanyakan mereka hanya mengetahui sabatas zakat fitrah saja.
Padahal di dalam
Islam, selain zakat fitrah dikenal juga adanya zakat mal. Dalam zakat mal pun
masih terbagi lagi menjadi beberapa jenis zakat yang tentunya memiliki cara
hitung yang berbeda-beda. Perbedaan jenis dan cara hitung ini
tentunya tak lantas membuat seorang muslim untuk enggan mempelajarinya, apalagi
mengamalkannya.
Di antara jenis
zakat mal yang memiliki tuntunan langsung dari al-Qur’an dan hadis Rasulullah
adalah zakat pertanian. Tentang wajibnya mengeluarkan zakat pertanian, para
ulama sepakat. Hanya saja ulama fikih berbeda pendapat dalam menggambarkan
jenis harta pertanian yang diwajibkan zakatnya, karena berbedanya corak
pemikiran mereka. Adapun penetapan zakat perkebunan merupakan hasil ijtihad
para ulama.
Pada makalah
yang singkat ini penulis berusaha untuk menjelaskan penetapan wajibnya zakat
pertanian dan perkebunan yang ditinjau dari al-Qur’an, hadis serta penulis
mencoba meramu berbagai pendapat ulama tentang jenis harta pertanian
dan perkebunan yang diwajibkan zakatnya, dan indikasinya terhadap hukum positif
Indonesia khususnya tentang zakat pertanian dan perkebunan.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
Latar Belakang masalah maka rumusan masalahnya yaitu :
1. Bagaimana
ZAkatb Pertanian?
2. Bagaiman
Zakat Perkebunan ?
C.
Tujuan
Makalah
Adapun
Tujuan Makalah yaitu penulis Ingin :
1. Mengetahui
Bagaimana Zakat Pertanian
2. Mengetahui
Bagaimana Zakat Perkebunan
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pendekatan
al-Qur’an
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman nafkahkanlah dijalan Allah sebagian dari hasil usahamu
yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu.
Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya,
padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
(al-Baqarah : 267)
Asbabun nuzul
surat al-Baqarah ayat 267 ini berkaitan dengan kaum Anshar yang mengeluarkan
korma. Sebahagian mereka mengeluarkan zakat korma sesuai dengan ketentuan yang
telah digariskan, sementara sebahagian lagi tidak , yakni mengeluarkan zakat
berkualitas rendah atau busuk, padahal panen kormanya bagus, maka turunlah ayat
ini sebagai teguran terhadap perbuatannya tersebut.
Riwayat lain
menyebutkan bahwa asbabun nuzul surat albaqarah ayat 267 ini berkaitan dengan
pemilik kebun korma yang mengeluarkan zakat dengan kualitas rendah
sementara hasil panennya bagus.[1]
Riwayat lain
juga dikisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW menyuruh umatnya untuk mengeluarkan
zakat fitrah dengan satu sha’ korma. Lalu ada seorang laki-laki membawa korma
yang berkualitas rendah untuk dizakatkan maka turunlah ayat ini sebagai teguran
terhadap perbuatannya tersebut.
Diriwayatkan juga,
ada sahabat nabi SAW membeli makanan murah untuk disedekahkan, maka turunlah
ayat ini sebagai teguran terhadap perbuatan tersebut.
Artinya: “Dan
dialah yang menjadikankebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung,
pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang
serupa ()bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya
(yang macam-macam itu), bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah
tidak tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (al-An’am: 141)
Asbabun nuzul
surat al-an’am ayat 141 berkaitan dengan orang menuaikan tanaman yang
menghambur-hamburkan hasil panennya, akan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya,
dan hidup berpoya-poya. Maka turunlah ayat ini sebagai teguran dan perintah
mengeluarkan zakat hasil tanaman ketika panen. Riwayat lain, ayat ini turun
berkaitan dengan Tsabit bin Qais bin Syammas yang memanen buah kormanya,
setelah memanennya ia melakukan pesta pora sampai petang harinya, sehingga
tidak sebiji kormapun tersisa di rumahnya. Maka turunlah ayat ini sebagai
teguran terhadap perbuatan tersebut.[2]
Artinya : “dan
membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu
kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai”.
B.
Pendekatan
hadis
عن أبي سعيد
الخدري عن النبي صلى الله علبه و سلم قال : ليس فيما دون خمس أوسق صدقة ولا فيما دون خمس ذود صدقة ولا فيما دون خمس أواقي صدقة
(رواه المسلم
“Dari Abi Sa’id
al-Khudri dari Nabi SAW berkata: tidak wajib disedekahkan bahan makanan pokok
yang kurang dari lima ausuq, tidak pula binatang ternak yang kurang lima ekor,
dan emas perak yang kurang lima uqiah”.
عن أبي هريرة قال
: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما سقت السماء و العيون العشر و فيما سقي
بالنضح نصف العشر (رواه الترمذي
“Dari Abi
Hurairah berkata, bersabda Rasulullah SAW : tanaman yang diairi dengan hujan
zakatnya 10%, dan yang diairi dengan selain air hujan zakatnya 5%”
Berdasarkan dua hadis di atas, maka
terlihatlah bahwa wajibnya mengeluarkan zakat pertanian, bahkan telah
dirumuskan zakat tanaman yang diairi dengan 10 % dan tanaman yang diairi selain
air hujan 5 %.
C.
Pendekatan
Ushul Fikih dan Fikih
a.
Besarnya nisab zakat
pertanian
untuk menentukan
besarnya nisab pertanian. Ada sebuah hadis yang menjadi patokan umum, yakni
sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh muslim di atas. Berangkat dari hadis
tersebut, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah memandang bahwa zakat tanaman hanya
wajib jikalau telah sampai lima ausuq. bahkan Hanabilah menambahkan
pertanian tersebut harus berbiji, berbuah, dapat ditakar, tumbuh di muka bumi.[3]
Akan tetapi ulama Hanafiyah tidak membatasinya, sedikit maupun banyak
tanaman dan buah-buahan wajib dikeluarkan zakatnya hal ini berdasarkan
pandangannya bahwa umumnya firman Allah SWT pada surat al-an’am ayat
141. Memperhatikan ayat ini, maka terlihat bahwa ayat ini berlaku umum, yakni
perintah untuk mengeluarkan zakat tanaman dan buah-buahan diwaktu memetiknya,
sehingga butuh pengkhususan. Maka dengan demikian datanglah hadis sebagai
penjelas lanjutan tentang besarnya zakat yang dikeluarkan, dalam hal ini Nabi
Muhammad SAW bersabda:
عن أبي هريرة قال
: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما سقت السماء و العيون العشر و فيما سقي
بالنضح نصف العشر (رواه الترمذي(
“Dari Abi
Hurairah berkata, bersabda Rasulullah SAW : tanaman yang diairi dengan hujan
zakatnya 10%, dan yang diairi dengan selain air hujan zakatnya 5%”
Berdasarkan hadis di atas jelaslah
bahwa zakat tanaman yang diairi dengan hujan zakatnya 10 %, dan tanaman yang
diairi dengan peralatan zakatnya 5 %. Dan hadis ini tidak bicara tentang banyak
sedikitnya tanaman atau buah-buahan yang harus dikeluarkan zakatnya, melainkan
besarnya nisab zakat.
b.
Waktu pembayaran zakat
Mengenai waktu
pembayaran zakat pertanian, agaknya perlu memperhatikan firman Allah SWT surat
al-an’am ayat 141:
Ketika memahami kata “wa atuu
haqqohu yauma hasodihi” terdapat tiga gambaran di kalangan ulama,
diantaranya:
a.
Wajib pada waktu baru
tuai, dan berkata Muhammad bin Salamah : حقه
يوم حصاده و
أتوا seakan-akan ia mengatakan bahwa
inilah zhahir ayat.
b.
Wajib pada waktu
setelah dibawa pulang, walaupun masih basah
c.
Wajib pada waktu
setelah ditemukan hasil bersih. Ibnu Arabi menambahkan, pendapat inilah yang
terkuat, karena yang dimakan manusia adalah hasil bersih.[4]
Pendapat
terakhir ini sejalan dengan firman Allah SWT, karena wajib zakat itu hanyalah
yang baik-baik lagi bersih sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 267.
D.
Pertanian
dalam Islam
Pertanian dalam
bahasa Arab, disebut زرعا atau زراعة berarti menanamkan benih kedalam tanah atau hal-hal yang
terkait dengan menanam[5] Pertanian
biasanya terdiri dari tanaman dan buah-buahan, atau menanamkan benih kedalam
tanah atau hal-hal yang terkait dengan menanam. Pertanian merupakan proses
penggarapan tanah oleh petani untuk menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan
buah-buahan yang diharapkan. Keberhasilan tanaman dan buah-buahan yang
diharapkan amat tergantung dari kesuburan tanah, dan kemampuan penggarap untuk
memberantas hama. Sedangkan tanah kadang kala, subur secara alamiah, dan ada
yang tidak, sehingga harus dilakukan pengolahan seperti memupuknya untuk
memperoleh kesuburan maksimal.
Tanaman dan
buah-buahan merupakan anugerah Allah SWT yang cocok untuk tanah tertentu, dan
tidak cocok pada tanah yang lain. Keadaan ini disebabkan oleh berbedanya unsur
yang diserap oleh tanaman dan buah-buahan. maka
pantaslah manusia mensyukurinya dengan mengeluarkan zakatnya bagi orang yang
telah memenuhi persyaratan.
d. Pertanian
wajib zakat
Islam
mengajarkan bahwa segala yang dihasilkan dari perut bumi termasuk pertanian
wajib dikeluarkan zakatnya. Kewajiban mengeluarkan zakat berdasarkan al-Qur’an
dan Sunnah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Hanya saja ulama fikih
berbeda pendapat dalam menggambarkan jenis harta pertanian yang diwajibkan
zakatnya, karena berbedanya corak pemikiran mereka. Namun sebenarnya ada sebuah
hadis khusus yang berbicara tentang jenis harta pertanian wajib zakat,
sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, berbunyi :
عن عمرو ابن شعيب
عن أبيه عن جده قال : انما سن رسول الله صلي الله عليه و سلم الزكاة فى هذه خمسة فى الحنطة و الشعير و الثمر و
الزيب و الذرة (رواه احمد بن حنبل)
“Dari Amru Ibn
Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata, Rasullah SAW hanya memungut zakat
dalam lima jenis tanaman, yakni gandum, biji gandum, kurma, anggur dan jagung”.
Ahmad bin hanbal
mengatakan sanadnya lemah sehingga meninggalkan hadis ini, karena Muhammad bin
Abdullah mengingkarinya, sementara ia bahagian dari orang yang meriwayatkan
hadis. Hakim menganggap hadis inimatruk, dan tidak ada menyanggahnya ulama
yang menukilkan hadis ini. Begitupun berkata as-Saji, para penukil hadis
meninggalkan dan mengingkari hadis ini. Berdasarkan pandangan ulama tersebut di
atas, maka hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah.[6]
Berhubung hadis
ini tidak dapat dijadikan hujjah untuk mengatakan bahwa zakat itu hanya wajib
kepada lima jenis pertanian saja, maka alangkah baiknya disini dikemukakan
tentang pendapat ulama fikih mengenai jenis-jenis harta pertanian wajib zakat,
di antaranya :
a.
Pendapat Umar bin
khaththab
Jenis
harta pertanian wajib zakat adalah setiap tanaman buah yang bisa ditakar dan
kering atau bisa diperas dan awet, sehingga meliputi gandum, padi, jagung, buah
zaitun, dan biji-bijian seperti adas. Suatu ketika Sufyan bin Abdullah pernah
menulis surat kepada Umar bin Khaththab berisikan pemberitahuan bahwa di
daerahnya ada kebun fursik dan delima yang lebih mahal dari anggur. Lalu Sufyan
bin Abdullah ingin memerintahkan pemilik kebun membayarkan zakatnya, maka Umar
bin Khaththab membalas surat tersebut dengan mengatakan bahwa fursik dan delima
tidak ada zakatnya, karena pohon itu tidak bisa ditakar, tidak awet dan
batangnya berduri.[7]
b.
Pendapat ulama
malikiyah dan Syafi’iyah
Jenis harta
pertanian wajib zakat adalah makanan yang bisa dimakan dan disimpan serta
biji-bijian dan buah-buahan kering, sehingga termasuk padanya gandum, sejenis
gandum, kurma, anggur, padi, jagung, dan kacang.[8]
c.
Pendapat ulama
Hanabilah
Menurut ulama
Hanabilah, jenis harta pertanian wajib zakat adalah semua yang kering, tetap,
dan bisa ditimbang, sehingga meliputi gandum, sejenis gandum, kurma, anggur,
padi, jagung, kacang tanah, kacang kedele, bawang, terung, lobak, ketimun, dan
labu.[9]
d. Pendapat
Hanafiyah
Jenis harta
pertanian wajib zakat adalah semua hasil tanaman yang dimaksudkan untuk
memperoleh penghasilan dari penanamannya.[10]
Memperhatikan pendapat ulama
seperti Umar bin Khatab, malikiyah, Syafi’iyah, Hanabila, dan Hanafiyah
tersebut di atas, maka terlihat bahwa mereka mendukung bahwa hadis riwayat
Ahmad bin Hanbal dari Amru bin Syu’aib sangat lemah, sehingga memberikan
gambaran lain tentang jenis harta pertanian wajib zakat walaupun mereka berbeda
pendapat dalam mengelompokkan jenis harta wajib zakat yang tidak mungkin
dipertemukan keseluruhnya.
e.
Biaya Pengelolaan
Pertanian
Secara sederhana
biaya pengelolaan pertanian adalah segala biaya produksi yang dikeluarkan untuk
mengelolah dan mengembangkan pertanian guna mendapatkan hasil yang baik.
Berbicara tentang biaya pengelolaan dalam pertanian sebenarnya dikenal dua
istilah, yakni biaya tunai (biaya yang tidak dibayarkan) dan biaya tidak tunai
(biaya yang tidak dibayarkan). Biaya tunai ini meliputi upah tenaga
kerja diluar pemilik usaha, biaya pembelian bibit, biaya pembelian pupuk, biaya
pembelian obat-obatan dan sejenisnya. Sedangkan biaya tidak tunai adalah upah
kerja dari pemilik usaha yang biasanya tidak dikeluarkan.[11]
Bahkan
pembicaraan tentang biaya pengelolaan dalam pertanian, dapat dikembangkan
menjadi dua hal, yakni biaya terkait langsung dengan pertanian dan biaya tidak
terkait langsung dengan pertanian. Biaya terkait langsung adalah biaya yang
berhubungan langsung dengan pertanian, dalam istilah pertanian disebut biaya
tunai. Sedangkan biaya tidak terkait langsung adalah biaya yang tidak berhubungan
langsung dengan pertanian, tetapi sangat menunjang keberhasilan pertanian,
biaya seperti ini disebut dengan kebutuhan rutinitas harian petani atau biasa
disebut dengan kebutuhan pokok. Kebutuhan pokok ini merupakan suatu hal yang
perlu diperhatikan, karena keberhasilan suatu usaha amat terkait dengannya.
Biasanya
kebutuhan pokok meliputi dua hal. Pertama, jumlah minimum tertentu yang
dibutuhkan oleh suatu keluarga untuk konsumsi pribadi : makanan, perumahan,
sandang layak, serta perabot, dan peralatan rumah tangga. Kedua, kebutuhan
layanan pokok penunjang meliputi air, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan
fasilitas budaya. [12]Mulyatno
Sumardi dan Hans-Dieter Evers merumuskan kebutuhan pokok kepada beberapa hal
yang harus dipenuhi, di antaranya : makanan, pakaian, perumahan, pendidikan,
kebersihan, transportasi, dan biaya partisipasi masyarakat.[13]
Sebenarnya tidak
bisa dipungkiri bahwa terpenuhinya pokok seorang petani merupakan modal dasar
kesuksesannya dalam berusaha, karena jikalau kebutuhan pokoknya tidak
terpenuhi, maka aktivitasnya mengurus pertanian akan sedikit terganggu. Sebagai
contoh seorang petani dalam menggarap pertaniannya butuh makan dan minum. Makan
dan minum merupakan kebutuhan pokok, namun suatu hal yang penting ditegaskan
disini adalah biaya pengelolan dalam pertanian, tidaklah sama dengan kebutuhan
pokok, karena biaya pengelolaan merupakan biaya yang terkait langsung dengan
pertanian, sementara kebutuhan pokok hanyalah bahagian penunjang dari suatu
keberhasilan pertanian.
Bukti konkrit
bahwa biaya pengelolaan pertanian berbeda dengan kebutuhan pokok petani adalah
:
1.
Biaya pengelolaan
pertanian adalah merupakan biaya yang terkait langsung dengan kesuksesan suatu
pertanian, sementara kebutuhan pokok hanyalah bahagian penunjang dari suatu
keberhasilan pertanian. akan tetapi tidak berarti bahwa tidak terpenuhinya
kebutuhan pokok, akan mengakibatkan gagalnya suatu pertanian, namun kegagalan
dan keberhasilan suatu pertanian amat tergantung dengan memadai atau tidaknya
biaya operasional.
2.
Istilah pertanian yang
terkait dengan biaya pengelolaan, hanya mengenal biaya tunai berupa biaya
pembelian bibit, biaya pembelian pupuk, biaya pembelian obat-obatan dan
sejenisnya. Dan tidak ditemukan istilah yang mengatakan bahwa kebutuhan pokok
merupakan biaya pengelolaan pertanian.
Akan tetapi tidak bisa dipungkiri
bahwa kebutuhan pokok dalam pembayaran zakat memang mempunyai kaitan erat,
bahkan kewajiban zakat bisa gugur karena belum terpenuhinya kebutuhan pokok
tersebut. Hal ini tergambar dalam firman Allah SWT yang berbunyi :
Artinya
: Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:
yang lebih besar dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya
kepadamu supaya kamu berfikir”. (al-Baqarah : 219)
Ahli tafsir
bebeda dalam memahami makna kata al-afwa sebagaimana
tergambar dalam penjelasan berikut ini :
a.
Ibnu Abbas berkata,
jika ditanya oleh seseorang tentang harta yang dizakatkan, katakan: سمحت
به النفس و ما فضل عن الأهل أو ما فضل عن اليال
Maksudnya
permudah diri dan utamakan keluarga terlebih dahulu atau cukupilah kebutuhan
keluarga terlebih dahulu, baru tunaikan zakat.
b.
Hasan Qatadah, Atha’.
Sudai, Qurthubi, Muhammad bin Ka’ab dan Ibnu Abi Laila berkata, jika ditanya
oleh seseorang tentang harta yang dizakatkan, katakana ما
فضل عن حواءجكم maksudnya utamakan kebutuhanmu
dahulu, baru tunaikan zakat.
c.
Mujahid berkata, jika
ditanya oleh seseorang tentang harta yang dizakatkan, katakan صدقة
عن ظهر غني maksudnya zakat dipundak orang kaya.[14]
Berdasarkan
pandangan ulama di atas, maka terlihat bahwa kewajiban membayarkan zakat amat
terkait dengan pemenuha kebutuhan pokok, bahkan ulama memandang bahwa tidak
terpenuhinya kebutuhan pokok dapat menggugurkan kewajiban zakat. Senada dengan
itu Nabi Muhammad SAW bersabda :
عن جابر قال اعتق
رجل من عزوة عبدا له عن دبر فبلغ ذلك رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال ألك غيره
؟ فقال لا, من يشتر به مني فاشراه نعيم ين عبد الله العدوى بثمان ماءة درهم, فجاء
بها رسول الله صلى الله عليه و سلم فدفعها اليه ثم قال ابدأ بنفسك فتصدق عليها,
فإن فضل عن أهلك شئ فلذوي قرابتك, فإن فضل عن ذوي قربتك (رواه
مسلم]
“dari jabir r.a
katanya seorang laki-laki dari Bani Udzrah memerdekakan budak dengan tebusan.
Berita itu sampai kepada Rasulullah SAW, lauRasul bertanya kepada pemilik budak
itu, masih adakah hartamu selain budak ini, dijawabnya tidak wahai Rasulullah.
Maka Nabi SAW bersabda, siapakah yang mau membeli budak itu dari padaku?
Akhirnya budak itu dibeli oleh Nu’aim bin Abdullah al-‘Adawi seharga delapan
ratus dirham yang diserahkan kepada Rasulullah SAW, dan beliau meneruskan
kepada pemilik budak itu. Seraya bersabda kepadanya, manfaatkanlah uang ini
untuk dirimu sendiri terlebih dahulu. Jika ada sisanya untuk keluargamu, (anak
istrimu), jika masih tersisa, maka untuk kerabatmu, jika masih tersisa lagi,
maka untuk orang-orang disekitarmu”.
Berangkat dari
hadis di atas, maka jelaslah bahwa adanya kaitan erat antara pemenuhan
kebutuhan pokok dengan berbuat baik kepada orang lain. Termasuk mengeluarkan
zakat. Begitupun Utsman bin Affan berkata:
هذا شهر زكاتكم,
فمن كان عليه دين فليؤده حتى تخرجوا زكاة أموالكم
Artinya: ini
masa zakat kamu, maka siapa yang berhutang hendaklah menunaikannya, setelah itu
keluarkan zakatnya.
Ungkapan ini
walau berbicara masalah orang berhutang, akan tetapi dapat dikaitkan dengan
pemenuhan kebutuhan pokok sebelumnya zakat dibayarkan karena hakikatnya zakat
debebankan kepada orang yang mempunyai kelebihan untuk diberikan pada orang
membutuhkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
عن ابن عباس رضي
الله عنهما أن النبي صلى الله عليه و سلم بعث معاذ إلى اليمان فقال ادعهم ان
شهادة أن لا اله إلا الله و اني رسول الله فإنهم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله
افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم و ليلة فإنهم أطاعوا لذلك فأعملهم ان الله افترض
عليهم صدقة في أموالهم تأخذ من أغنياءىهم و ترد على فقراءىهم (رواه البخاري
“Dari Ibn Abbas
r. a bahwasanya Nabi SAW mengutus Mu’adz ke Yaman seraya bersabda : serulah
mereka untuk bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku utusan Allah, bila
meraka mentati. Maka beritahukan bahwa Allah mewajibkan atas mereka untuk
shalat lima waktu siang dan malam hari, jika mereka mentaatai, maka
beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka untuk membayarkan zakat dalam
harta mereka dari orang-orang kaya untuk diberikan kepada orang-orang kafir di
antara mereka.”
Berdasarkan
hadis di atas, maka jelaslah bahwa orang yang mempunyai kelebihan hartalah
dikenai kewajiban zakat untuk diberikan kepada orang membutuhkan. Akan tetapi
sekali lagi ditegaskan bahwa biaya pengelolaan pertanian tidaklah sama dengan
kebutuhan pokok, karena biaya pengelolaan mempunyai bahagian tersendiri,
sedangkan kebutuhan pokok mempunyai bahagian tersendiri pula.
E.
Zakat
perkebunan
Dengan melihat
pada kenyataan bahwa kondisi pertanian zaman sekarang adalah pertanian agrobisnis
bukan pertanian biasa, maka pelaksanaan zakat tanaman (perkebunan) diqiyaskan
kepada zakat perdagangan (85 gram emas), dan dalam pelaksanaan penghitungan
harus disesuaikan dengan teknik penghitungan yang digariskan oleh hukum Islam
yang telah dijabarkan oleh ulama terdahulu yang mana untuk zakat perdangangan
diambil dengan jumlah kadar nisab 2,5 % dari keseluruhan keuntungan
yang diperoleh. Dan apabila ada petani yang mengeluarkan zakatnya mengacu pada
aturan tata cara pelaksanaan zakat pertanian murni, dengan teknik penghitungan
10 % untuk pertanian yang diairi dengan air hujan atau irigasi dan 5 % untuk
pertanian yang diairi dengan bantuan manusia (memberi upah), maka Islam
memandanganya sebagai sesuatu yang dibenarkan, dengan landasan maqosid
syari’ah telah terwujud. Meski demikian, dikarenakan perkebunan merupakan
jenis pertanian yang selalu mengalami nila perkembangan dengan nilai harga yang
tinggi dan untuk mewujudkan kesejahteraan dikalangan masyarakat yang kurang
mampu.maka pengeluaran zakat perkebunan dianjurkan untuk mengunakan teknik
zakat pertanian.
F.
Pengaturan
Zakat dalam Hukum Positif di Indonesia
Di dalam Pasal
29 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan
kepercayaannya itu. Pasal ini menjadi landasan pemerintah membuat undang-undang
atau regulasi yang mengatur kepentingan penduduk dalam melaksanakan ajaran
agamanya masing-masing. Pengaturan norma-norma agama ke dalam norma hukum merupakan
suatu kewajiban negara.
Islam adalah
agama yang penuh dengan norma, baik itu norma agama, norma kesopanan, norma
kesusilaan maupun norma hukum. Zakat sebagai bagian dari norma agama,
mengandung nilai ibadah dan nilai muamalah. Zakat bernilai muamalah karena
zakat menyentuh kesejahteraan hidup manusia. Menempatkan
para agniya’ (hartawan) untuk menunaikan kewajiban menyalurkan
sebagian harta simpanan yang dimilikinya kepada pihak yang membutuhkan
(mustahiq). Para agniya’ mempunyai kewajiban dan mustahiq mempunyai
hak (bersifat pasif). Pemenuhan hak mustahik diperlukan legitimasi oleh
pemerintah. Dengan demikian dibutuhkan suatu kepastian hukum oleh pemerintah
untuk menegakkan hak mustahiq tersebut.
Undang-Undang
Pengelolaan Zakat memberikan kepastian dan payung hukum bagi pemerintah untuk
mengatur mekanisme pengelolaan zakat. Dalam konsideran UU Pengelolaan Zakat
diatur bahwa:
1. Republik
Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut
agamanya masing-masing;
2. Pengumpulan
zakat merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil pengumpulan
zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat;
3. Zakat
merupakan pranata keagamaaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu;
4. Upaya
penyempurnaan sistem pengelolaan zakat perlu terus ditingkatkan agar
pelaksanaan zakat lebih berhasil guna dan berdaya guna serta pelaksanaan zakat
dapat dipertanggungjawabkan.
Benda-benda yang
harus dikeluarkan zakatnya secara eksplisit ditentukan dalam Pasal 11 UU
Pengelolaan Zakat Bab IV tentang Pengumpulan Zakat. Ayat ;
(1) menyatakan
bahwa zakat terdiri atas zakat maal dan fitrah.
(2) dikemukan
bahwa harta yang dikenai zakat adalah: Emas, perak dan uang,
perdagangan dan perusahaan, hasil pertanian, hasil perkebunan dan hasil
perikanan, hasil pertambangan, hasil peternakan hasil pendapatan dan jasa,
serta rikaz.
(3) disebutkan:
Penghitungan zakat maal menurut nisab, kadar, dan waktu ditetapkan berdasarkan
hukum agama.
Kemudian dalam
hukum positif (UU lain) juga ada menyinggung zakat tertentu, yaitu UU No 17
Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Di dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pajak
Penghasilan disebutkan bahwa: harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan
warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b,
kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib Pajak
orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga yang
dibentuk atau disyahkan oleh pemerintah. Diktum tersebut secara jelas
menyatakan bahwa zakat yang dibayarkan kepada BAZ dan LAZ yang sah menjadi
pengurang penghasilan kena pajak.
Adapun maksud
pengaturan zakat tertentu ini dalam UU Pajak Penghasilan oleh Jazuni dikatakan:
zakat yang dibayarkan hendaknya benar-benar sesuai ketentuan syari'ah, kemudian
nilai tersebut dikurangi atas penghasilan kena pajak. Baik UU Pengelolaan Zakat
maupun UU Pajak Penghasilan menurut Jazuni sebagai pengakuan negara terhadap
kewajiban zakat bagi umat Islam Indonesia.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan melihat
kepada status tanaman yang bukan merupakan sebagai tanaman untuk memenuhi
kebutuhan makanan pokok, akan tetapi murni untuk dijadikan sebagai komoditas
perdagangan (agrobisnis). Sehingga ada berbagai pertimbangan pada status
tanaman yang secara tidak jelas dan tidak ada anjuran secara langsung dalam
al-Qur’an dan hadis Nabi, membuka untuk menetukan zakatnya pada zakat
perdagangan. Apabila kita melihat pada tradisi atau kebiasaan muslim yang ada
di Indonesia dalam hal tata cara pelaksanaan pengeluaran zakat hasil tanaman,
maka produksi pertanian tanaman yang ada merupakan pertanian agrobisnis, yang
system pengeluaran zakatnya dapat diqiyaskan kepada zakat perdagangan. Dengan
melihat kepada waktu pengeluaran, penentuan batas nisabnya dan haul zakatnya
sesuai dengan zakat perdagangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Imam Abi Hasan
Ali Ahmad al-Wahidi, Asbabun nuzul, (libanon: Dar- al-Kutub al-Ilmiyah, 1998.
A Mudjab
Mahali, Asbabun nuzul : Studi Pendalaman al-Qur’an surat
al-Baqarah-an-Nas, (Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2002.
Abu Ishaq bin
Ali bin Yusuf al-Firazi Abdi al-Syirazi, al-Muhazzab, (Libanon : Dar
al-Fikr, 1994), Juz ke-1.
Ibnu
Arabi, Ahakam al-Qur’an, (Libanon : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th)
Mahmud
Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : Hida Karya Agung, 1989)
Ahmad bin
Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (tt, : tp, t.th), Juz ke-2.
Muhammad Rawas
Qal’ahji, mausu’ah Fiqh Umar Ibnu al-Khatab, (tt : tp, 1981 )
Jalaluddin
as-Syayuthi, al-Mudawwanah al-Kubra, (Libanon : Dar al-Kutub
al-Ilmiah, t.th.), Jilid ke-1, h. 383 lihat juga Abu Ishaq Ibrahim bin Ali
Yusuf al-Firuz Abadi asy-Syirazi, al-Muhazzab, (Libanon : Dar
al-Fikr, 1994), Juz ke-1
Abi Muhammad
Muwaffiq ad-Din Abdullah bin Qudhamah al-Maqaddisy, al-Kafiy fi Fiqh Imam
Ahmad bin Hanbal, (Libanon : Dar al-Fikr, 1992),
Imam ‘Ala
ad-Din Abi Bakr bin Mas’ud al-Kasani, Bada’I as-Shana’I Tartib
asy-Syar’I, (Libanon : Dar al-Fikr, t.th.), Juz ke-2,
Moehar
Daniel, Pengantar Ekonomi Pertanian, (Jakarta : Bumi Aksara, 2002),
Cet ke-1,
Adam Kuper
dan Jessica Kuper, The Social Science Encylopediaditerjemahkan oleh Haris
Munandar menjadi Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Social, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2000), Cet ke-1, jilid ke 1,
Mulyatno
Sumardi dan Hans-Dieter Evers, Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, Kata
Pengantar Pemenuhan Kebutuhan Pokok Golongan Berpenghasilan Rendah,(Jakarta :
Rajawali, 1985)
Abi Bakar
Muhammad bin Abdullah, (Ibn Arabi), Ahkam al-Qur’an, (Libanon : Dar
al-Ilmiyah, t.th.
[1] Imam Abi Hasan Ali Ahmad al-Wahidi,
Asbabun nuzul, (libanon: Dar- al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), h. 154
[2] A
Mudjab Mahali, Asbabun nuzul : Studi Pendalaman al-Qur’an surat
al-Baqarah-an-Nas, (Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2002), h. 388
[3] Abu
Ishaq bin Ali bin Yusuf al-Firazi Abdi
al-Syirazi, al-Muhazzab, (Libanon : Dar al-Fikr, 1994), Juz ke-1, h.
218
[8] Jalaluddin
as-Syayuthi, al-Mudawwanah al-Kubra, (Libanon : Dar al-Kutub
al-Ilmiah, t.th.), Jilid ke-1, h. 383 lihat juga Abu Ishaq Ibrahim bin Ali
Yusuf al-Firuz Abadi asy-Syirazi, al-Muhazzab, (Libanon : Dar
al-Fikr, 1994), Juz ke-1, h. 217-218
[9] Abi
Muhammad Muwaffiq ad-Din Abdullah bin Qudhamah al-Maqaddisy, al-Kafiy fi
Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, (Libanon : Dar al-Fikr, 1992), Juz ke-1, h.
339
[10] Imam
‘Ala ad-Din Abi Bakr bin Mas’ud al-Kasani, Bada’I as-Shana’I Tartib
asy-Syar’I, (Libanon : Dar al-Fikr, t.th.), Juz ke-2, h. 59
[12] Adam
Kuper dan Jessica Kuper, The Social Science Encylopediaditerjemahkan oleh
Haris Munandar menjadi Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Social, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2000), Cet ke-1, jilid ke 1, h. 61
[13] Mulyatno Sumardi dan Hans-Dieter
Evers, Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, Kata Pengantar Pemenuhan Kebutuhan
Pokok Golongan Berpenghasilan Rendah,(Jakarta : Rajawali, 1985)
[14] Abi Bakar Muhammad bin Abdullah, (Ibn
Arabi), Ahkam al-Qur’an, (Libanon : Dar al-Ilmiyah, t.th), Juz ke-1,
h. 214
Tidak ada komentar:
Posting Komentar