Jumat, 24 Februari 2017

makalah zakat pertanian dan perkebunan



ZAKAT PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
TUGAS INDIVIDU
SEMESTER VIIC
  MATA KULIAH : FIQIH PRAKTEK
  NAMA DOSEN   :


DISUSUN
 








OLEH :

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjN-i0oqSUVCLTLVjBZwoRWIYBSJkjMnmAJTAcWNFHoV2sjsuQT5KAc881ZnjyB31WbfzfbBaf-IrHOs0Kw6q2NTSzZ043dfydOMmMnNN4QYHgbaWd7gwADaKOFOUN08Sdx37Q3aFpspAI/s1600/STAI+JM.jpgLAILAN SAFINAH




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
MAHMUDIYAH JAM’IYAH
TANJUNG PURA
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Sang Illahi Robbi yang mana atas berkat dan Rahmat-Nyalah kami bisa menyelesaikan makalah ini, tak lupa sholawat dan salam marilah kita limpah curahkan kepada Guru besar kita Yakni Nabi Muhammad SAW, tanpa adanya beliau mungkinkah kita terbebas dari zaman kebodohan.
Dalam makalah ini penulis membahas tentang , zakat Pertanian dan Perkebunan makalah ini kami tujukan untuk memenuhi tugas individu Praktek Fiqih. Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi yang membutuhkan baik bagi dunia pendidikan ataupun para akademisi yang ingin meningkatkan atas pengetahuanya. apabila ada kesalahan dalam makalah ini kami mohon maaf  yang sebesar – besarnya, karena kealpaan, kehilafan itu adalah sifat manusia yang nyata didunia, maka segala saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kemajuan, sangat kami harapkan.
Akhir kata dari penulis mengucapkan banyak terima kasih.





                                                                                    Tanjung Pura, 20 Januari 2015


                                                                                                LAILAN SAFINAH







i

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………….……          i
Daftar Isi……………………………………………………………………………..           ii
Bab I …………………………………………………………………………………          
Pendahuluan………………………………………………………………………....           
A.    Latar Belakang………………………………………………………….…….           
B.     Rumusan Masalah ……………………………………………………………           
C.     Tujuan Penulisan………………………………………………………………          
Bab II ………………………………………………………………………………..           
Pembahasan…………………………………………………………….…………….          
  1. Pendekatan Al-Qur’an……………………………………………………….          
  2. Pendekatan Hadist…………………………………………………………...          
  3. Pendekatan Ushul Fikih……………………………………………………..           
  4. Pengertian Zakat Mall………………………………………………………..          
  5. Pertanian Dalam Islam………………………………………………………           
  6. Peraturan zakat Di Indonesia………………………………………………..           
Bab III ……………………………………………………………………………….         
Penutup……………………………………………………………………………….         
A.    Kesimpulan…………………………………………….;;…………………….         
Daftar Pustaka………………………………………………………………………..          iii








i
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Membayar zakat adalah salah satu dari lima rukun Islam. Oleh karena itu, mengamalkannya adalah sebuah kewajiban bagi siapapun yang telah memenuhi persyaratannya.meski demikian, tak sedikit dari umat Islam yang belum mengetahui secara eksplisit perihal zakat. Kebanyakan mereka hanya mengetahui sabatas zakat fitrah saja.
Padahal di dalam Islam, selain zakat fitrah dikenal juga adanya zakat mal. Dalam zakat mal pun masih terbagi lagi menjadi beberapa jenis zakat yang tentunya memiliki cara hitung yang berbeda-beda. Perbedaan jenis  dan cara hitung ini tentunya tak lantas membuat seorang muslim untuk enggan mempelajarinya, apalagi mengamalkannya.
Di antara jenis zakat mal yang memiliki tuntunan langsung dari al-Qur’an dan hadis Rasulullah adalah zakat pertanian. Tentang wajibnya mengeluarkan zakat pertanian, para ulama sepakat. Hanya saja ulama fikih berbeda pendapat dalam menggambarkan jenis harta pertanian yang diwajibkan zakatnya, karena berbedanya corak pemikiran mereka. Adapun penetapan zakat perkebunan merupakan hasil ijtihad para ulama.
Pada makalah yang singkat ini penulis berusaha untuk menjelaskan penetapan wajibnya zakat pertanian dan perkebunan yang ditinjau dari al-Qur’an, hadis serta penulis mencoba meramu berbagai pendapat ulama tentang jenis  harta pertanian dan perkebunan yang diwajibkan zakatnya, dan indikasinya terhadap hukum positif Indonesia khususnya tentang zakat pertanian dan perkebunan.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang masalah maka rumusan masalahnya yaitu :
1.      Bagaimana ZAkatb Pertanian?
2.      Bagaiman Zakat Perkebunan ?

C.    Tujuan Makalah
Adapun Tujuan Makalah yaitu penulis Ingin :
1.      Mengetahui Bagaimana Zakat Pertanian
2.      Mengetahui Bagaimana Zakat Perkebunan
BAB II
PEMBAHASAN

A.          Pendekatan al-Qur’an
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah dijalan Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (al-Baqarah : 267)
Asbabun nuzul surat al-Baqarah ayat 267 ini berkaitan dengan kaum Anshar yang mengeluarkan korma. Sebahagian mereka mengeluarkan zakat korma sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan, sementara sebahagian lagi tidak , yakni mengeluarkan zakat berkualitas rendah atau busuk, padahal panen kormanya bagus, maka turunlah ayat ini sebagai teguran terhadap perbuatannya tersebut.
Riwayat lain menyebutkan bahwa asbabun nuzul surat albaqarah ayat 267 ini berkaitan dengan pemilik kebun korma yang mengeluarkan zakat dengan  kualitas rendah sementara hasil panennya bagus.[1]
Riwayat lain juga dikisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW menyuruh umatnya untuk mengeluarkan zakat fitrah dengan satu sha’ korma. Lalu ada seorang laki-laki membawa korma yang berkualitas rendah untuk dizakatkan maka turunlah ayat ini sebagai teguran terhadap perbuatannya tersebut.
Diriwayatkan juga, ada sahabat nabi SAW membeli makanan murah untuk disedekahkan, maka turunlah ayat ini sebagai teguran terhadap perbuatan tersebut.
Artinya: “Dan dialah yang menjadikankebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa ()bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang macam-macam itu), bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (al-An’am: 141)  
Asbabun nuzul surat al-an’am ayat 141 berkaitan dengan orang menuaikan tanaman yang menghambur-hamburkan hasil panennya, akan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya, dan hidup berpoya-poya. Maka turunlah ayat ini sebagai teguran dan perintah mengeluarkan zakat hasil tanaman ketika panen. Riwayat lain, ayat ini turun berkaitan dengan Tsabit bin Qais bin Syammas yang memanen buah kormanya, setelah memanennya ia melakukan pesta pora sampai petang harinya, sehingga tidak sebiji kormapun tersisa di rumahnya. Maka turunlah ayat ini sebagai teguran terhadap perbuatan tersebut.[2]
Artinya : “dan membanyakkan harta  dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai”.
B.           Pendekatan hadis
عن أبي سعيد الخدري عن النبي صلى الله علبه و سلم قال : ليس فيما دون خمس أوسق صدقة ولا فيما دون خمس   ذود صدقة ولا فيما دون خمس أواقي صدقة (رواه المسلم
“Dari Abi Sa’id al-Khudri dari Nabi SAW berkata: tidak wajib disedekahkan bahan makanan pokok yang kurang dari lima ausuq, tidak pula binatang ternak yang kurang lima ekor, dan emas perak yang kurang lima uqiah”.
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما سقت السماء و العيون العشر و فيما سقي بالنضح نصف العشر (رواه الترمذي
“Dari Abi Hurairah berkata, bersabda Rasulullah SAW : tanaman yang diairi dengan hujan zakatnya 10%, dan yang diairi dengan selain air hujan zakatnya 5%”
            Berdasarkan dua hadis di atas, maka terlihatlah bahwa wajibnya mengeluarkan zakat pertanian, bahkan telah dirumuskan zakat tanaman yang diairi dengan 10 % dan tanaman yang diairi selain air hujan 5 %.
C.          Pendekatan Ushul Fikih dan Fikih
a.            Besarnya nisab zakat pertanian
untuk menentukan besarnya nisab pertanian. Ada sebuah hadis yang menjadi patokan umum, yakni sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh muslim di atas. Berangkat dari hadis tersebut, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah memandang bahwa zakat tanaman hanya wajib jikalau telah sampai lima ausuq. bahkan Hanabilah menambahkan pertanian tersebut harus berbiji, berbuah, dapat ditakar, tumbuh di muka bumi.[3] Akan tetapi ulama Hanafiyah tidak membatasinya, sedikit maupun banyak tanaman dan buah-buahan wajib dikeluarkan zakatnya hal ini berdasarkan pandangannya bahwa umumnya firman Allah SWT pada  surat al-an’am ayat 141. Memperhatikan ayat ini, maka terlihat bahwa ayat ini berlaku umum, yakni perintah untuk mengeluarkan zakat tanaman dan buah-buahan diwaktu memetiknya, sehingga butuh pengkhususan. Maka dengan demikian datanglah hadis sebagai penjelas lanjutan tentang besarnya zakat yang dikeluarkan, dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda:
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما سقت السماء و العيون العشر و فيما سقي بالنضح نصف العشر (رواه الترمذي(
“Dari Abi Hurairah berkata, bersabda Rasulullah SAW : tanaman yang diairi dengan hujan zakatnya 10%, dan yang diairi dengan selain air hujan zakatnya 5%”
Berdasarkan hadis di atas jelaslah bahwa zakat tanaman yang diairi dengan hujan zakatnya 10 %, dan tanaman yang diairi dengan peralatan zakatnya 5 %. Dan hadis ini tidak bicara tentang banyak sedikitnya tanaman atau buah-buahan yang harus dikeluarkan zakatnya, melainkan besarnya nisab zakat.
b.            Waktu pembayaran zakat
Mengenai waktu pembayaran zakat pertanian, agaknya perlu memperhatikan firman Allah SWT surat al-an’am ayat 141:
Ketika memahami kata “wa atuu haqqohu yauma hasodihi” terdapat tiga gambaran di kalangan ulama, diantaranya:
a.        Wajib pada waktu baru tuai, dan berkata Muhammad bin Salamah :  حقه يوم حصاده و أتوا seakan-akan ia mengatakan bahwa inilah zhahir ayat.
b.        Wajib pada waktu setelah dibawa pulang, walaupun masih basah
c.        Wajib pada waktu setelah ditemukan hasil bersih. Ibnu Arabi menambahkan, pendapat inilah yang terkuat, karena yang dimakan manusia adalah hasil bersih.[4]
Pendapat terakhir ini sejalan dengan firman Allah SWT, karena wajib zakat itu hanyalah yang baik-baik lagi bersih sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 267.
D.          Pertanian dalam Islam
Pertanian dalam bahasa Arab, disebut زرعا atau زراعة berarti menanamkan benih kedalam tanah atau hal-hal yang terkait dengan menanam[5] Pertanian biasanya terdiri dari tanaman dan buah-buahan, atau menanamkan benih kedalam tanah atau hal-hal yang terkait dengan menanam. Pertanian merupakan proses penggarapan tanah oleh petani untuk menghasilkan  tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang diharapkan. Keberhasilan tanaman dan buah-buahan yang diharapkan amat tergantung dari kesuburan tanah, dan kemampuan penggarap untuk memberantas hama. Sedangkan tanah kadang kala, subur secara alamiah, dan ada yang tidak, sehingga harus dilakukan pengolahan seperti memupuknya untuk memperoleh kesuburan maksimal.
Tanaman dan buah-buahan merupakan anugerah Allah SWT yang cocok untuk tanah tertentu, dan tidak cocok pada tanah yang lain. Keadaan ini disebabkan oleh berbedanya unsur yang diserap oleh tanaman dan buah-buahan. maka pantaslah manusia mensyukurinya dengan mengeluarkan zakatnya bagi orang yang telah memenuhi persyaratan.
d.       Pertanian wajib zakat
Islam mengajarkan bahwa segala yang dihasilkan dari perut bumi termasuk pertanian wajib dikeluarkan zakatnya. Kewajiban mengeluarkan zakat berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Hanya saja ulama fikih berbeda pendapat dalam menggambarkan jenis harta pertanian yang diwajibkan zakatnya, karena berbedanya corak pemikiran mereka. Namun sebenarnya ada sebuah hadis khusus yang berbicara tentang jenis harta pertanian wajib zakat, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, berbunyi :
عن عمرو ابن شعيب عن أبيه عن جده قال : انما سن رسول الله صلي الله  عليه و سلم الزكاة فى هذه خمسة فى الحنطة و الشعير و الثمر و الزيب و الذرة (رواه احمد بن حنبل)
“Dari Amru Ibn Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata, Rasullah SAW hanya memungut zakat dalam lima jenis tanaman, yakni gandum, biji gandum, kurma, anggur dan jagung”.
Ahmad bin hanbal mengatakan sanadnya lemah sehingga meninggalkan hadis ini, karena Muhammad bin Abdullah mengingkarinya, sementara ia bahagian dari orang yang meriwayatkan hadis. Hakim menganggap hadis inimatruk, dan tidak ada menyanggahnya ulama yang menukilkan hadis ini. Begitupun berkata as-Saji, para penukil hadis meninggalkan dan mengingkari hadis ini. Berdasarkan pandangan ulama tersebut di atas, maka hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah.[6]
Berhubung hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah untuk mengatakan bahwa zakat itu hanya wajib kepada lima jenis pertanian saja, maka alangkah baiknya disini dikemukakan tentang pendapat ulama fikih mengenai jenis-jenis harta pertanian wajib zakat, di antaranya :
a.        Pendapat Umar bin khaththab
Jenis harta pertanian wajib zakat adalah setiap tanaman buah yang bisa ditakar dan kering atau bisa diperas dan awet, sehingga meliputi gandum, padi, jagung, buah zaitun, dan biji-bijian seperti adas. Suatu ketika Sufyan bin Abdullah pernah menulis surat kepada Umar bin Khaththab berisikan pemberitahuan bahwa di daerahnya ada kebun fursik dan delima yang lebih mahal dari anggur. Lalu Sufyan bin Abdullah ingin memerintahkan pemilik kebun membayarkan zakatnya, maka Umar bin Khaththab membalas surat tersebut dengan mengatakan bahwa fursik dan delima tidak ada zakatnya, karena pohon itu tidak bisa ditakar, tidak awet dan batangnya berduri.[7]
b.        Pendapat ulama malikiyah dan Syafi’iyah
Jenis harta pertanian wajib zakat adalah makanan yang bisa dimakan dan disimpan serta biji-bijian dan buah-buahan kering, sehingga termasuk padanya gandum, sejenis gandum, kurma, anggur, padi, jagung, dan kacang.[8]
c.        Pendapat ulama Hanabilah
Menurut ulama Hanabilah, jenis harta pertanian wajib zakat adalah semua yang kering, tetap, dan bisa ditimbang, sehingga meliputi gandum, sejenis gandum, kurma, anggur, padi, jagung, kacang tanah, kacang kedele, bawang, terung, lobak, ketimun, dan labu.[9]
d.       Pendapat Hanafiyah
Jenis harta pertanian wajib zakat adalah semua hasil tanaman yang dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan dari penanamannya.[10]
Memperhatikan pendapat ulama seperti Umar bin Khatab, malikiyah, Syafi’iyah, Hanabila, dan Hanafiyah tersebut di atas, maka terlihat bahwa mereka mendukung bahwa hadis riwayat Ahmad bin Hanbal dari Amru bin Syu’aib sangat lemah, sehingga memberikan gambaran lain tentang jenis harta pertanian wajib zakat walaupun mereka berbeda pendapat dalam mengelompokkan jenis harta wajib zakat yang tidak mungkin dipertemukan keseluruhnya.
e.        Biaya Pengelolaan Pertanian
Secara sederhana biaya pengelolaan pertanian adalah segala biaya produksi yang dikeluarkan untuk mengelolah dan mengembangkan pertanian guna mendapatkan hasil yang baik. Berbicara tentang biaya pengelolaan dalam pertanian sebenarnya dikenal dua istilah, yakni biaya tunai (biaya yang tidak dibayarkan) dan biaya tidak tunai (biaya yang tidak dibayarkan). Biaya tunai ini  meliputi upah tenaga kerja diluar pemilik usaha, biaya pembelian bibit, biaya pembelian pupuk, biaya pembelian obat-obatan dan sejenisnya. Sedangkan biaya tidak tunai adalah upah kerja dari pemilik usaha yang biasanya tidak dikeluarkan.[11]
Bahkan pembicaraan tentang biaya pengelolaan dalam pertanian, dapat dikembangkan menjadi dua hal, yakni biaya terkait langsung dengan pertanian dan biaya tidak terkait langsung dengan pertanian. Biaya terkait langsung adalah biaya yang berhubungan langsung dengan pertanian, dalam istilah pertanian disebut biaya tunai. Sedangkan biaya tidak terkait langsung adalah biaya yang tidak berhubungan langsung dengan pertanian, tetapi sangat menunjang keberhasilan pertanian, biaya seperti ini disebut dengan kebutuhan rutinitas harian petani atau biasa disebut dengan kebutuhan pokok. Kebutuhan pokok ini merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan, karena keberhasilan suatu usaha amat terkait dengannya.
Biasanya kebutuhan pokok meliputi dua hal. Pertama, jumlah minimum tertentu yang dibutuhkan oleh suatu keluarga untuk konsumsi pribadi : makanan, perumahan, sandang layak, serta perabot, dan peralatan rumah tangga. Kedua, kebutuhan layanan pokok penunjang meliputi air, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan fasilitas budaya. [12]Mulyatno Sumardi dan Hans-Dieter Evers merumuskan kebutuhan pokok kepada beberapa hal yang harus dipenuhi, di antaranya : makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kebersihan, transportasi, dan biaya partisipasi masyarakat.[13]
Sebenarnya tidak bisa dipungkiri bahwa terpenuhinya pokok seorang petani merupakan modal dasar kesuksesannya dalam berusaha, karena jikalau kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi, maka aktivitasnya mengurus pertanian akan sedikit terganggu. Sebagai contoh seorang petani dalam menggarap pertaniannya butuh makan dan minum. Makan dan minum merupakan kebutuhan pokok, namun suatu hal yang penting ditegaskan disini adalah biaya pengelolan dalam pertanian, tidaklah sama dengan kebutuhan pokok, karena biaya pengelolaan merupakan biaya yang terkait langsung dengan pertanian, sementara kebutuhan pokok hanyalah bahagian penunjang dari suatu keberhasilan pertanian.
Bukti konkrit bahwa biaya pengelolaan pertanian berbeda dengan kebutuhan pokok petani adalah :
1.            Biaya pengelolaan pertanian adalah merupakan biaya yang terkait langsung dengan kesuksesan suatu pertanian, sementara kebutuhan pokok hanyalah bahagian penunjang dari suatu keberhasilan pertanian. akan tetapi tidak berarti bahwa tidak terpenuhinya kebutuhan pokok, akan mengakibatkan gagalnya suatu pertanian, namun kegagalan dan keberhasilan suatu pertanian amat tergantung dengan memadai atau tidaknya biaya operasional.
2.            Istilah pertanian yang terkait dengan biaya pengelolaan, hanya mengenal biaya tunai berupa biaya pembelian bibit, biaya pembelian pupuk, biaya pembelian obat-obatan dan sejenisnya. Dan tidak ditemukan istilah yang mengatakan bahwa kebutuhan pokok merupakan biaya pengelolaan pertanian.
Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan pokok dalam pembayaran zakat memang mempunyai kaitan erat, bahkan kewajiban zakat bisa gugur karena belum terpenuhinya kebutuhan pokok tersebut. Hal ini tergambar dalam firman Allah SWT yang berbunyi :
Artinya : Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: yang lebih besar dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu supaya kamu berfikir”. (al-Baqarah : 219)
Ahli tafsir bebeda dalam memahami makna kata al-afwa sebagaimana tergambar  dalam penjelasan berikut ini :
a.              Ibnu Abbas berkata, jika ditanya oleh seseorang tentang harta yang dizakatkan, katakan: سمحت به النفس و ما فضل عن الأهل أو ما فضل عن اليال
Maksudnya permudah diri dan utamakan keluarga terlebih dahulu atau cukupilah kebutuhan keluarga terlebih dahulu, baru tunaikan zakat.
b.              Hasan Qatadah, Atha’. Sudai, Qurthubi, Muhammad bin Ka’ab dan Ibnu Abi Laila berkata, jika ditanya oleh seseorang tentang harta yang dizakatkan, katakana ما فضل عن حواءجكم  maksudnya utamakan kebutuhanmu dahulu, baru tunaikan zakat.
c.              Mujahid berkata, jika ditanya oleh seseorang tentang harta yang dizakatkan, katakan صدقة عن ظهر غني  maksudnya zakat dipundak orang kaya.[14]
Berdasarkan pandangan ulama di atas, maka terlihat bahwa kewajiban membayarkan zakat amat terkait dengan pemenuha kebutuhan pokok, bahkan ulama memandang bahwa tidak terpenuhinya kebutuhan pokok dapat menggugurkan kewajiban zakat. Senada dengan itu Nabi Muhammad SAW bersabda :
عن جابر قال اعتق رجل من عزوة عبدا له عن دبر فبلغ ذلك رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال ألك غيره ؟ فقال لا, من يشتر به مني فاشراه نعيم ين عبد الله العدوى بثمان ماءة درهم, فجاء بها رسول الله صلى الله عليه و سلم فدفعها اليه ثم قال ابدأ بنفسك فتصدق عليها, فإن فضل عن أهلك شئ فلذوي قرابتك, فإن فضل عن ذوي قربتك (رواه مسلم]
“dari jabir r.a katanya seorang laki-laki dari Bani Udzrah memerdekakan budak dengan tebusan. Berita itu sampai kepada Rasulullah SAW, lauRasul bertanya kepada pemilik budak itu, masih adakah hartamu selain budak ini, dijawabnya tidak wahai Rasulullah. Maka Nabi SAW bersabda, siapakah yang mau membeli budak itu dari padaku? Akhirnya budak itu dibeli oleh Nu’aim bin Abdullah al-‘Adawi seharga delapan ratus dirham yang diserahkan kepada Rasulullah SAW, dan beliau meneruskan kepada pemilik budak itu. Seraya bersabda kepadanya, manfaatkanlah uang ini untuk dirimu sendiri terlebih dahulu. Jika ada sisanya untuk keluargamu, (anak istrimu), jika masih tersisa, maka untuk kerabatmu, jika masih tersisa lagi, maka untuk orang-orang disekitarmu”. 
Berangkat dari hadis di atas, maka jelaslah bahwa adanya kaitan erat antara pemenuhan kebutuhan pokok dengan berbuat baik kepada orang lain. Termasuk mengeluarkan zakat. Begitupun Utsman bin Affan berkata:
هذا شهر زكاتكم, فمن كان عليه دين فليؤده حتى تخرجوا زكاة أموالكم
           Artinya: ini masa zakat kamu, maka siapa yang berhutang hendaklah menunaikannya, setelah itu keluarkan zakatnya.
Ungkapan ini walau berbicara masalah orang berhutang, akan tetapi dapat dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan pokok sebelumnya zakat dibayarkan karena hakikatnya zakat debebankan kepada orang yang mempunyai kelebihan untuk diberikan pada orang membutuhkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه و سلم بعث معاذ إلى اليمان فقال ادعهم ان شهادة أن لا اله إلا الله و اني رسول الله فإنهم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم و ليلة فإنهم أطاعوا لذلك فأعملهم ان الله افترض عليهم صدقة في أموالهم تأخذ من أغنياءىهم و ترد على فقراءىهم (رواه البخاري
“Dari Ibn Abbas r. a bahwasanya Nabi SAW mengutus Mu’adz ke Yaman seraya bersabda : serulah mereka untuk bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku utusan Allah, bila meraka mentati. Maka beritahukan bahwa Allah mewajibkan atas mereka untuk shalat lima waktu siang dan malam hari, jika mereka mentaatai, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka untuk membayarkan zakat dalam harta mereka dari orang-orang kaya untuk diberikan kepada orang-orang kafir di antara mereka.”
Berdasarkan hadis di atas, maka jelaslah bahwa orang yang mempunyai kelebihan hartalah dikenai kewajiban zakat untuk diberikan kepada orang membutuhkan. Akan tetapi sekali lagi ditegaskan bahwa biaya pengelolaan pertanian tidaklah sama dengan kebutuhan pokok, karena biaya pengelolaan mempunyai bahagian tersendiri, sedangkan kebutuhan pokok mempunyai bahagian tersendiri pula.
E.           Zakat perkebunan
Dengan melihat pada kenyataan bahwa kondisi pertanian zaman sekarang adalah pertanian agrobisnis bukan pertanian biasa, maka pelaksanaan zakat tanaman (perkebunan) diqiyaskan kepada zakat perdagangan (85 gram emas), dan dalam pelaksanaan penghitungan harus disesuaikan dengan teknik penghitungan yang digariskan oleh hukum Islam yang telah dijabarkan oleh ulama terdahulu yang mana untuk zakat perdangangan diambil dengan jumlah kadar nisab 2,5 %  dari keseluruhan keuntungan yang diperoleh. Dan apabila ada petani yang mengeluarkan zakatnya mengacu pada aturan tata cara pelaksanaan zakat pertanian murni, dengan teknik penghitungan 10 % untuk pertanian yang diairi dengan air hujan atau irigasi dan 5 % untuk pertanian yang diairi dengan bantuan manusia (memberi upah), maka Islam memandanganya sebagai sesuatu yang dibenarkan, dengan landasan maqosid syari’ah telah terwujud. Meski demikian, dikarenakan perkebunan merupakan jenis pertanian yang selalu mengalami nila perkembangan dengan nilai harga yang tinggi dan untuk mewujudkan kesejahteraan dikalangan masyarakat yang kurang mampu.maka pengeluaran zakat perkebunan dianjurkan untuk mengunakan teknik zakat pertanian.
F.           Pengaturan Zakat dalam Hukum Positif di Indonesia
Di dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Pasal ini menjadi landasan pemerintah membuat undang-undang atau regulasi yang mengatur kepentingan penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Pengaturan norma-norma agama ke dalam norma hukum merupakan suatu kewajiban negara.
Islam adalah agama yang penuh dengan norma, baik itu norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan maupun norma hukum. Zakat sebagai bagian dari norma agama, mengandung nilai ibadah dan nilai muamalah. Zakat bernilai muamalah karena zakat menyentuh kesejahteraan hidup manusia. Menempatkan para agniya’ (hartawan) untuk menunaikan kewajiban menyalurkan sebagian harta simpanan yang dimilikinya kepada pihak yang membutuhkan (mustahiq). Para agniya’ mempunyai kewajiban dan mustahiq mempunyai hak (bersifat pasif). Pemenuhan hak mustahik diperlukan legitimasi oleh pemerintah. Dengan demikian dibutuhkan suatu kepastian hukum oleh pemerintah untuk menegakkan hak mustahiq tersebut. 
Undang-Undang Pengelolaan Zakat memberikan kepastian dan payung hukum bagi pemerintah untuk mengatur mekanisme pengelolaan zakat. Dalam konsideran UU Pengelolaan Zakat diatur bahwa:
1.      Republik Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya masing-masing;
2.      Pengumpulan zakat merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
3.      Zakat merupakan pranata keagamaaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu;
4.      Upaya penyempurnaan sistem pengelolaan zakat perlu terus ditingkatkan agar pelaksanaan zakat lebih berhasil guna dan berdaya guna serta pelaksanaan zakat dapat dipertanggungjawabkan.
Benda-benda yang harus dikeluarkan zakatnya secara eksplisit ditentukan dalam Pasal 11 UU Pengelolaan Zakat Bab IV tentang Pengumpulan Zakat. Ayat ;
(1)   menyatakan bahwa zakat terdiri atas zakat maal dan fitrah.
(2)   dikemukan bahwa harta yang dikenai zakat adalah: Emas, perak dan  uang, perdagangan dan perusahaan, hasil pertanian, hasil perkebunan dan hasil perikanan, hasil pertambangan, hasil peternakan hasil pendapatan dan jasa, serta rikaz.
(3)   disebutkan: Penghitungan zakat maal menurut nisab, kadar, dan waktu ditetapkan berdasarkan hukum agama.
Kemudian dalam hukum positif (UU lain) juga ada menyinggung zakat tertentu, yaitu UU No 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Di dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pajak Penghasilan disebutkan bahwa: harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga yang dibentuk atau disyahkan oleh pemerintah. Diktum tersebut secara jelas menyatakan bahwa zakat yang dibayarkan kepada BAZ dan LAZ yang sah menjadi pengurang penghasilan kena pajak. 
Adapun maksud pengaturan zakat tertentu ini dalam UU Pajak Penghasilan oleh Jazuni dikatakan: zakat yang dibayarkan hendaknya benar-benar sesuai ketentuan syari'ah, kemudian nilai tersebut dikurangi atas penghasilan kena pajak. Baik UU Pengelolaan Zakat maupun UU Pajak Penghasilan menurut Jazuni sebagai pengakuan negara terhadap kewajiban zakat bagi umat Islam Indonesia.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dengan melihat kepada status tanaman yang bukan merupakan sebagai tanaman untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok, akan tetapi murni untuk dijadikan sebagai komoditas perdagangan (agrobisnis). Sehingga ada berbagai pertimbangan pada status tanaman yang secara tidak jelas dan tidak ada anjuran secara langsung dalam al-Qur’an dan hadis Nabi, membuka untuk menetukan zakatnya pada zakat perdagangan. Apabila kita melihat pada tradisi atau kebiasaan muslim yang ada di Indonesia dalam hal tata cara pelaksanaan pengeluaran zakat hasil tanaman, maka produksi pertanian tanaman yang ada merupakan pertanian agrobisnis, yang system pengeluaran zakatnya dapat diqiyaskan kepada zakat perdagangan. Dengan melihat kepada waktu pengeluaran, penentuan batas nisabnya dan haul zakatnya sesuai dengan zakat perdagangan.

















DAFTAR PUSTAKA

Imam Abi Hasan Ali Ahmad al-Wahidi, Asbabun nuzul, (libanon: Dar- al-Kutub al-Ilmiyah, 1998.
A Mudjab Mahali, Asbabun nuzul : Studi Pendalaman al-Qur’an surat al-Baqarah-an-Nas, ­(Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2002.
Abu Ishaq bin Ali bin Yusuf al-Firazi Abdi al-Syirazi, al-Muhazzab, (Libanon : Dar al-Fikr, 1994), Juz ke-1.
Ibnu Arabi, Ahakam al-Qur’an, (Libanon : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th)
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : Hida Karya Agung, 1989)
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (tt, : tp, t.th), Juz ke-2.
Muhammad Rawas Qal’ahji, mausu’ah Fiqh Umar Ibnu al-Khatab, (tt : tp, 1981 )
Jalaluddin as-Syayuthi, al-Mudawwanah al-Kubra, (Libanon : Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.), Jilid ke-1, h. 383 lihat juga Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Yusuf al-Firuz Abadi asy-Syirazi, al-Muhazzab, (Libanon : Dar al-Fikr, 1994), Juz ke-1
Abi Muhammad Muwaffiq ad-Din Abdullah bin Qudhamah al-Maqaddisy, al-Kafiy fi Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, (Libanon : Dar al-Fikr, 1992),
 Imam ‘Ala ad-Din Abi Bakr bin Mas’ud al-Kasani, Bada’I as-Shana’I Tartib asy-Syar’I, (Libanon : Dar al-Fikr, t.th.), Juz ke-2,
 Moehar Daniel, Pengantar Ekonomi Pertanian, (Jakarta : Bumi Aksara, 2002), Cet ke-1,
 Adam Kuper dan Jessica Kuper, The Social Science Encylopediaditerjemahkan oleh Haris Munandar menjadi Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Social, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet ke-1, jilid ke 1,
 Mulyatno Sumardi dan Hans-Dieter Evers, Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, Kata Pengantar Pemenuhan Kebutuhan Pokok Golongan Berpenghasilan Rendah,(Jakarta : Rajawali, 1985)
 Abi Bakar Muhammad bin Abdullah, (Ibn Arabi), Ahkam al-Qur’an, (Libanon : Dar al-Ilmiyah, t.th.



[1] Imam Abi Hasan Ali Ahmad al-Wahidi, Asbabun nuzul, (libanon: Dar- al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), h. 154

[2] A Mudjab Mahali, Asbabun nuzul : Studi Pendalaman al-Qur’an surat al-Baqarah-an-Nas, ­(Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2002), h. 388
[3] Abu Ishaq bin Ali bin Yusuf al-Firazi Abdi al-Syirazi, al-Muhazzab, (Libanon : Dar al-Fikr, 1994), Juz ke-1, h. 218
[4] Ibnu Arabi, Ahakam al-Qur’an, (Libanon : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 114
[5] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : Hida Karya Agung, 1989), h. 154
[6] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (tt, : tp, t.th), Juz ke-2, h. 480
[7] Muhammad Rawas Qal’ahji, mausu’ah Fiqh Umar Ibnu al-Khatab, (tt : tp, 1981 ), h. 360
[8] Jalaluddin as-Syayuthi, al-Mudawwanah al-Kubra, (Libanon : Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.), Jilid ke-1, h. 383 lihat juga Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Yusuf al-Firuz Abadi asy-Syirazi, al-Muhazzab, (Libanon : Dar al-Fikr, 1994), Juz ke-1, h. 217-218
[9] Abi Muhammad Muwaffiq ad-Din Abdullah bin Qudhamah al-Maqaddisy, al-Kafiy fi Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, (Libanon : Dar al-Fikr, 1992), Juz ke-1, h. 339
[10] Imam ‘Ala ad-Din Abi Bakr bin Mas’ud al-Kasani, Bada’I as-Shana’I Tartib asy-Syar’I, (Libanon : Dar al-Fikr, t.th.), Juz ke-2, h. 59
[11] Moehar Daniel, Pengantar Ekonomi Pertanian, (Jakarta : Bumi Aksara, 2002), Cet ke-1, h. 37
[12] Adam Kuper dan Jessica Kuper, The Social Science Encylopediaditerjemahkan oleh Haris Munandar menjadi Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Social, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet ke-1, jilid ke 1, h. 61
[13] Mulyatno Sumardi dan Hans-Dieter Evers, Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, Kata Pengantar Pemenuhan Kebutuhan Pokok Golongan Berpenghasilan Rendah,(Jakarta : Rajawali, 1985)

[14] Abi Bakar Muhammad bin Abdullah, (Ibn Arabi), Ahkam al-Qur’an, (Libanon : Dar al-Ilmiyah, t.th), Juz ke-1, h. 214

Tidak ada komentar:

Posting Komentar