ASBABUN NUZUL
TUGAS KELOMPOK
SEMESTER
MATA KULIAH : ULUMUL QUR’AN
NAMA DOSEN :
![]() |
DISUSUN OLEH :
LAILAN SAFINAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
MAHMUDIYAH JAM’IYAH
TANJUNG PURA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Sang Illahi
Robbi yang mana atas berkat dan Rahmat-Nyalah kami bisa menyelesaikan
makalah ini, tak lupa sholawat dan salam marilah kita limpah curahkan kepada
Guru besar kita Yakni Nabi Muhammad SAW, tanpa adanya beliau
mungkinkah kita terbebas dari zaman kebodohan.
Dalam makalah ini penulis membahas
tentang
Asbabun Nuzul makalah ini
kami tujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah hadist pendidikan. Makalah ini
diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi yang membutuhkan baik bagi dunia
pendidikan ataupun para akademisi yang ingin meningkatkan atas pengetahuanya.
apabila ada kesalahan dalam makalah ini kami mohon maaf yang sebesar
– besarnya, karena kealpaan, kehilafan itu adalah sifat manusia yang nyata
didunia, maka segala saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kemajuan,
sangat kami harapkan.
Akhir kata dari penulis mengucapkan
banyak terima kasih.
Tanjung
Pura, 30 September 2016
INDIVIDU
Ii
DAFTAR ISI
Halaman
Judul........................................................................................ i
Kata Pengantar………………………………………………………… ii
Daftar Isi………………………………………………………………. iii
Bab I ………………………………………………………………….. 1
Pendahuluan………………………………………………………….... 1
A. Latar
Belakang………………………………………………….. 1
B. Rumusan
Masalah ……………………………………………... .. 1
C. Tujuan
Penulisan……………………………………………….. .. 2
Bab II ……………………………………………………………...... 3
Pembahasan…………………………………………………………. 3
A.
Apa pengertian Asbabun nuzul?......................................... .. 3
B.
Apa Kualitas Riwayahnya ?.............................................. . 4
C.
Apa Bentuk- Bentuk Asbabun nuzul?....................................... 5
D.
Apa Pembagian dan Macam-Macam Asbabun Nuzul ?............. 6
E.
Apa Ungkapan Ungkapan Asbabun Nuzul?............................ 11
F. Apakah
Ibarat Itu Dipandang dari Umumnya Lafal atau
Khususnya Sebab?........................................................ .......... 12
G. Faedah
mengetahui Asbabun Nuzul dan Peranan Dalam
Memahami
atau Menafsirkan Ayat dalam Al-Qur’an.............. 13
Bab III ……………………………………………………………….... 15
Penutup………………………………………………………………... 15
A.
Kesimpulan…………………………………………….;;……... 15
Daftar Pustaka………………………………………………………… iv
iii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qur’an diturunkan untuk memberi
petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan
menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan
risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang
sekarang serta berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar Qur’an pada mulanya
diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama
Rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di
antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau
masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk
mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka Qur’an turun untuk peristiwa
khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang
dinamakan Asbabun Nuzul.
Asbabun nuzul merupakan suatu aspek
ilmu yang harus diketahui, dikaji dan diteliti oleh para mufassirin atau
orang-orang yang ingin memahami Al-Qur’an secara mendalam.
Berdasarkan pemahaman para ahli tafsir mengenai pentingnya mempelajari Asbabun
Nuzul maka ilmu ini perlu dikembangkan untuk dipahami oleh umat manusia. Bahkan
sekarang Asbabun Nuzul telah dijadikan salah satu kajian dalam ‘Ulumul
Qur’an.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini
adalah sebagai berikut :
H.
Apa pengertian Asbabun nuzul?
I.
Apa Kualitas Riwayahnya ?
J.
Apa Bentuk- Bentuk Asbabun nuzul?
K.
Apa Pembagian dan Macam-Macam Asbabun Nuzul ?
L.
Apa Ungkapan Ungkapan Asbabun Nuzul?
M. Apakah
Ibarat Itu Dipandang dari Umumnya Lafal atau Khususnya Sebab?
N. Faedah
mengetahui Asbabun Nuzul dan Peranan Dalam Memahami atau Menafsirkan Ayat dalam
Al-Qur’an
C. Tujuan Masalah
Selanjutnya,
adapun tujuan Masalah makalah ini adalah :
a.
Untuk mengetahui Apa pengertian Asbabun nuzul?
b.
Apa Kualitas Riwayahnya ?
c.
Apa Bentuk- Bentuk Asbabun nuzul?
d.
Apa Pembagian dan Macam-Macam Asbabun Nuzul ?
e.
Apa Ungkapan Ungkapan Asbabun Nuzul?
f. Apakah
Ibarat Itu Dipandang dari Umumnya Lafal atau Khususnya Sebab?
g. Faedah
mengetahui Asbabun Nuzul dan Peranan Dalam Memahami atau Menafsirkan Ayat dalam
Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Asbabun Nuzul
Secara bahasa Asbabun nuzul berasal dari kata سبب جمع اسباب artinya sebab atau
karena,[1]
sedangkan نزول bentuk masdar dari نزل- ينزل yang berarti turun atau jatuh.[2]
Adapun menurut istilah, Dr. Musa Rahim Ibrahim dalam bukunya “Buhuts Manhajiyyah fi Ulum Al-Qur’an
al-Karim”, mendefenisikan Asbabun Nuzul yaitu:
" ما نزل
قران بشاْن وقت وقوعه كحادثه أو سوْل "
“Suatu hal
yang karenanya al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan status (hukumnya), pada
masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.[3]
Dari defenisi di atas, dapat disimpulkan sebab turunnya suatu ayat itu
berkisar pada dua hal:
1.
Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat
al-Qur’an mengenai peristiwa itu, seperti kisah turunnya surat al-Lahab
2.
Bila Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu hal, maka
turunlah ayat al-Qur’an menerangkan hukumnya. Hal itu seperti ketika Khaulah
binti Tsa’labah dikenakan Zihar (Zihar ialah bila seorang suami
mengatakan kepada istrinya: “ engkau begitu seperti punggung ibuku.” Bentuk
pertanyaan zihar selain yang tersebut ini masih diperselisihkan. )oleh
suaminya, Aus bin Tsamit, hingga Khaulah bertanya kepada Rasulullah SAW
mengenai hukumnya, maka turun lah QS al-Mujadalah:3
Tetapi tidak semua ayat al-Qur’an
diturunkan karena timbul suatu peristiwa
atau kejadian atau karena suatu pertanyaan. Ada diantara ayat al-Qur’an yang
diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban
Islam dan syari’at Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial. Al-Jabari menyebutkan:
“al-Qur’an diturunkan dalam dua kategori: yang turun tanpa sebab, dan turun
karena suatu peristiwa atau pertanyaan”.[4]
Para ulama sangat memperhatikan ilmu
Asbabun Nuzul ini dalam menafsirkan al-Qur’an. Oleh karena itu, sebagian ulama
menyusun ilmu ini dalam satu kitab secara khusus. Mereka adalah Ali Ibn
al-Madaniy, guru Imam Bukhari, serta ulama-ulama lainnya.
B. Kualitas Riwayah
Ulama
menjadikan pegangan utama untuk mengetahui Asbabun Nuzul dengan cara
berpedoman kepada keshahihan riwayat yang berasal dari Nabi SAW atau sahabat.
Kalau riwayat tersebut berasal dari sahabat mesti dengan riwayat yang jelas
dalam artian tidak boleh mengandalkan akal semata, mesti harus mempunyai hukum
marfu’ (disandarkan pada Rasulullah) Al-Wahidiy mengatakan: “tidak boleh dengan
perkataan saja dalam Asbabun Nuzul turunnya ayat, melainkan dengan
periwayatan, pendengaran lansung dari orang yang menyaksikan turunnya ayat
tersebut, karena mereka telah meneliti dan membahas dengan ilmunya sehingga
mereka mendapatkan apa yang mereka cari.[5]
Ulama salaf sangat berhati-hati dalam menerima
dan memberikan periwayatan tentang asbabun nuzul ini, sampai Muhammad ibn Sirin
mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada ‘Ubadah tentang satu ayat yang ada
dalam Al-Qur’an dan ia mengatakan : bertaqwalah kamu kepada Allah Swt, dan berkatalah yang benar.
Pergilah kepada orang-orang yang mengetahui tentang turunnya ayat-ayat
Al-Qur’an itu, yakni sahabat Nabi SAW.[6]
Adapun sebab
nuzul dengan hadits mursal, yaitu yang gugur dari sanadnya seorang sahabat atau
mata rantai periwatannya hanya sampai kepada seorang tabi’in, maka riwayat
seperti ini tidak diterima kecuali sanadnya shahih dan dikuatkan oleh hadits
mursal lainnya.[7]
C.
Bentuk-bentuk
Asbabun Nuzul
Bentuk-bentuk asbabun nuzul
ada dua macam :
a.
Bentuk peristiwa
Sebab-sebab turun ayat yang
dalam bentuk peristiwa ada beberapa bagian :
1. Peristiwa berupa pertengkaran, seperti perselisihan yang berkecamuk
antara segolongan dari suku Aus dan segolongan dari Khazraj. Perselisihan itu
timbul dari intrik-intrik yang ditiupkan orang-orang Yahudi sehingga mereka
berteriak-teriak : “senjata-senjata”. Peristiwa tersebut menyebabkan turunnya
beberapa ayat surah Ali ‘Imran, ayat 100, sampai beberapa ayat sesudahnya. Hal
ini merupakan cara terbaik untuk menjauhkan orang dari perselisihan dan
merangsang orang kepada sikap kasih sayang, persatuan, dan kesepakatan.
2. Peristiwa berupa kesalahan yang
serius, seperti peristiwa seorang yang mengimami shalat sedang mabuk sehingga
tersalah membaca surah al-Kafirun. Ia baca قل ياايها الكافرون . اعبد ما تعبدون dengan
tanpa لا pada لااعبد peristiwa ini menyebabkan turun ayat :
يا ايها الذين امنوا لا تقربوا الصلوة وانتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu hampiri sholat sedang kamu dalam
keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan… (QS. AL-Nisa :
42)
3. Peristiwa berupa cita-cita dan keinginan, seperti persesuaian-persesuaian
khalifah Umar bin khaththab dengan ketentuan-ketentuan ayat-ayat Al-Qur’an.
Dalam sejarah ada beberapa harapan Umar yang dikemukakan kepada Nabi Muhammad
SAW, kemudian turun ayat-ayat yang kandungannya sesuai dengan harapan-harapan
Umar tersebut. Sebagai contoh, Imam al-Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari
Anas r.a. bahwa Umar berkata: “ aku sepakat dengan Tuhanku dalam tiga hal : Aku
katakan kepada Rasul, bagaimana sekiranya kita jadikan maqam Ibrahim sebagai
tempat shalat,maka turunlah ayat :
واتخذ من مقام ابراهيم مصلى
Dan
aku katakan kepada Rasul, sesungguhnya istri-istri engkau masuk kepada mereka
itu orang yang baik-baik dan orang yang jahat, maka bagaimana sekiranya Engkau
perintahkan mereka agar bertabir, maka turunlah ayat hijab ( QS Al-Ahzab : 53),
aku katakan juga kepada mereka عسى ربه ان طلقكن أن يبد له أجوجا خيرمنكن “(jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan
akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu)”,
maka turunlah ayat yang serupa dengan itu pada surat Al-Tahrim ayat 5.[8]
b.
Bentuk pertanyaan.
Adapun sebab turun ayat yang
dalam bentuk pertanyaan dapat dikelompokkan kepada tiga macam :
1.
Pertanyaan yang berhubungan
dengan sesuatu yang telah berlalu,
seperti ayat :
ويسالونك عن ذى القرنين
“Mereka bertanya kepadamu tentang Zul Karnain
2.
Pertanyaan yang berhubungan
dengan sesuatu yang sedang berlansung pada waktu itu, seperti ayat :
ويسألونك عن الروح. قل الروح من أمر ربي وما اوتيتم
من العلم الا قليلا.
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah bahwa ruh itu
urusan Tuhanku, dan kamu tidak diberi ilmu kecuali yang sedikit”
3.
Pertanyaan yang berhubungan
dengan masa yang akan datang, seperti ayat:
يسألونك عن الساعة ايان
مرساها
“Mereka bertanya kepadamu tentang kiamat,”Bila terjadinya?”.[9]
D.
Pembagian
Dan Macam-Macam Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul bisa ditinjau dari berbagai aspek. Jika ditinjau dari aspek bentuknya, sabab
al-nuzul dapat dibagi kepada dua bentuk, seperti telah diterangkan
sebelumnya, yang pertama berbentuk peristiwa dan yang kedua berbentuk
pertanyaan. Sabab al-nuzul yang berbentuk peristiwa ada tiga macam,
pertengkaran, kesalahan yang serius, dan cita-cita dan harapan. Sabab
al-nuzul yang berbentuk pertanyaan dapat pula dibagi kepada tiga macam,
yaitu pertanyaan tentang masa lalu, masa yang sedang berlansung, dan masa yang
akan datang.
Dari segi jumlah sebab
dan ayat yang turun, sabab al-nuzul dapat dibagi kepada ta’addud
al-sabab wa al-nazil wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan inti
persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun satu) dan ta’adud
al-nazil wa al-sabab wahid (inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau
sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu).
Jika ditemukan dua
riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat dan masing-masing menyebutkan suatu
sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat itu
perlu diteliti dan di analisis. Permasalahannya ada empat bentuk :
1. Salah satu dari keduanya riwayat shahih dan yang lain tidak, maka
diselesaikan dengan jalan memperpegangi riwayat yang shahih dan menolak riwayat
yang tidak shahih. Misalnya, perbedaan yang terjadi antara riwayat Bukhari,
Muslim, dan lainnya dari satu pihak dan riwayat Al-Thabrani dan Ibn Abi Syaibah
di pihak lain. Bukhari, Muslim, dan lainnya meriwayatkan dari Jundub. Ia
(Jundub) berkata : “Nabi SAW kesakitan sehingga ia tidak bangun satu atau dua
malam. Seorang perempuan datang kepadanya dan berkata: “Hai Muhammad, saya
tidak melihat setanmu kecuali telah meninggalkanmu”, maka Allah menurunkan :
والضحى . واليل اذا سجى . ما
ودعك ربك وما قلى
Al-Thabrani dan Ibn Abi
Syaibah meriwayatkan dari Hafs Ibn Maisarah dari ibunya, dari ibunya (neneknya
dari ibu) dan ibunya itu pembantu Rasul SAW: “Sesungguhnya seekor anak anjing
memasuki rumah Nabi SAW. Anak anjing itu masuk ke bawah tempat tidur dan mati,
maka selama empat hari Nabi SAW tidak dituruni wahyu. Maka ia (Nabi) berkata:
“Hai Khaulah, apa yang telah terjadi dirumah Rasulullah? Jibril tidak datang
kepadaku”. Saya berkata pada diri saya sendiri: Sekiranyalah engkau persiapkan
rumah ini dan engkau sapu, maka saya jangkaukan penyapu ke bawah tempat tidur
itu, maka saya mengeluarkan anak anjing tersebut. Nabi SAW pun datang dalam
keadaan jenggotnya gemetar. Dan memang jika turun (wahyu) kepadanya ia menjadi
gemetar”. Maka Allah menurunkanوالضحى hingga
firman-Nyaفترضى
Dalam hal demikian menurut
Al-Zarqani, kita mendahulukan riwayat yang pertama dalam menerangkan sebab
turunnya ayat tersebut, karena keshahihan riwayatnya dan tidak riwayat yang
kedua. Sebab dalam sanad riwayat yang kedua terdapat periwayat yang tidak dikenal.
2. Bila kedua riwayat itu shahih, namun salah satunya mempunyai penguat (murajjih)
dan yang lain tidak, maka penyelesaiannya adalah mengambil riwayat yang
mempunyai penguat. Misalnya, hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibn
Mas’ud. Ia berkata: “Saya berjalan bersama Nabi SAW di Madinah dan ia (Nabi)
bertongkat pelepah korma. Ia melewati sekelompok orang Yahudi. Mereka berkata
kepada sebagian mereka: “Coba kamu tanya dia”, maka mereka berkata: “Ceritakan
kepada kami tentang ruh”, Nabi terhenti sejenak dan kemudian ia mengangkat
kepalanya. Saya pun mengerti bahwa ia dituruni wahyu hingga wahyu itu naik.
Kemudian ia berkata:
قل الروح من امر ربى وما
اوتيتم من العلم الا قليلا
Dalam hubungan ayat yang sama, Al-Tirmizi
meriwayatkan hadits yang dishahihkan dari Ibn Abbas. Ia berkata: “Orang-orang
Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi, “ Berikan kepada kami sesuatu yang
akan kami pertanyakan kepada orang ini (Nabi)”. Mereka berkata: “Kamu
tanyakanlah kepadanya tentang ruh”; merekapun menanyakannya, maka Allah
menurunkan:
ويسالونك عن الروح
Menurut Al-Suyuthi dan Al-Zarqani, riwayat yang kedua ini
menunjukkan bahwa ayat tersebut turun di Mekkah dan sebab turunnya adalah
pertanyaan kaum Quraisy. Sedangkan riwayat pertama jelas menunjukkan turunnya
di Madinah karena sebab turunnya adalah pertanyaan orang Yahudi. Riwayat yang
pertama ini lebih kuat dari yang kedua. Yang pertama adalah riwayat Al-Bukhari
dan yang kedua riwayat Al-Tirmizi. Telah menjadi ketentuan bahwa riwayat
Al-Bukhari lebih shahih dari riwayat yang lainnya. Kemudian, periwayat pertama,
Ibn Mas’ud menyaksikan kisah turun ayat tersebut, sedangkan periwayat hadits
kedua tidak demikian. Orang yang menyaksikan tentu mempunyai kekuatan yang
lebih dalam penerimaan dan penyampaian riwayat dari pada orang yang tidak
menyaksikannya. Karena itu, riwayat yang pertama diamalkan dan riwayat yang
kedua ditinggalkan.
3. Keshahihan dua riwayat itu sama dan tidak ditemukan penguat (murajjih)
bagi salah satu keduanya. Akan tetapi keduanya dapat dikompromikan. Kedua sebab
itu benar terjadi dan ayat turun mengiringi peristiwa tersebut benar, karena
masa keduanya berhampiran. Maka penyelesaiannya adalah dengan menganggap
terjadinya beberapa sebab bagi turunnya ayat tersebut. Ibn Hajar berkata: “
Tidak ada halangan bagi terjadinya ta’addud al-sabab (sebab ganda)
Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari jalan Ikrimah
dari Ibn Abbas, bahwa Hilal Ibn Umayyah menuduh istrinya berbuat mesum, disisi
Nabi dengan Syarik Ibn Samha. Nabi berkata: “Buktikan atau hukuman atas
pundakmu”. Ia berkata : “Hai Rasulullah jika seseorang dari kami mendapati
seorang laki-laki bersama isterinya dia harus pergi mencari bukti?”, maka
Jibril pun turun dan menurunkan kepada Nabi :
والذين يرمون ازواجهم ولم يكن
لهم شهداء الا انفسهم, الى قوله.... ان كان من الصادقين (النور : 6)
Sementara itu, Al-bukhari dan Muslim meriwayatkan
dari Sahl Ibn Sa’d, bahwa Uwaimir datang kepada Ashim Ibn Adiy yang adalah
pemimpin bani ‘Ajlan seraya berkata: Bagaimana pendapatmu tentang seseorang
yang menemukan istrinya bersama laki-laki lain. Apakah ia bunuh laki-laki itu,
maka ia pun membunuhnya, atau bagaimanakah ia bertindak? Tanyakanlah untuk saya
hal yang demikian kepada Rasul SAW. Ashim pergi menanyakan kepada Rasul, tetapi
Rasul tidak memberikan jawaban sehingga Uwaimir pergi menanyakannya lansung
kepada Rasul. Rasul berkata: “ Allah telah menurunkan Al-Qur’an tentang engkau
dan temanmu (istrimu). Rasul memerintahkan keduanya melakukan mula’anah sehingga
Uwaimir melakukan li’an terhadap istrinya.
Kedua riwayat ini shahih dan tidak ada penguat (murajjih)
bagi salah satu keduanya atas lainnya. Dalam pada itu, tidak terdapat kesulitan
untuk menjadikan kedua-duanya sebagai sebab turun ayat tersebut karena waktu
peristiwa berhampiran.
4. Keadaan dua riwayat itu shahih, tidak ada penguat (murajjih) bagi
salah satu keduanya atas yang lainnya, dan tidak pula mungkin menjadikan
keduanya sekaligus sebagai asbab al-nuzul karena waktu peristiwanya jauh
berbeda. Penyelesaian masalah ini adalah dengan menganggap berulang-ulangnya
ayat itu turun sebanyak asbab al-nuzulnya. Misalnya ialah hadits yang diriwayatkan Al-Baihaqi dan
Al-Bazzar dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW. Berdiri dekat Hamzah ketika gugur
menjadi syahid dan tubuhnya dicincang. Nabi berkata: “ sungguh saya akan
cincang tujuh puluh orang dari mereka sebagai penggantimu”. Jibril pun turun
dengan membawa tiga ayat dari akhir surah al-Nahl:
وان عا قبتم فعا قبوا بمثل
ماعوقبتم به
Sementara itu, Al-Tirmizi
dan Al-Hakim meriwayatkan dari Ubaiy Ibn Ka’ab. Ia berkata : “Takkala pada
perang Uhud jatuh korban dari kaum Anshar 64 orang dan dari kaum Muhajirin 6
orang termasuk Hamzah, mereka teraniaya, maka kaum Anshar berkata: “Jika kita
dapat mengalahkan mereka pada suatu hari seperti ini, kita akan melebihkan (jumlah
korban) mereka nanti”. Pada ketika
penaklukan Mekkah, Allah menurunkan ayat :
وان عا قبتم
Riwayat pertama menunjukkan bahwa ayat
tersebut turun pada perang Uhud dan riwayat kedua menunjukkan turunnya pada
penaklukan Mekkah. Sedangkan jarak waktu antara dua peristiwa tersebut beberapa
tahun. Karena itu sulit diterima akal bahwa ayat itu turun satu kali mengiringi
dua peristiwa itu sekaligus. Berdasarkan hal yang demikian, tidak ada jalan
keluar selain dengan mengatakan turunnya berulang-ulang, sekali pada perang
Uhud, dan sekali pada penaklukan Mekkah.
Inilah empat bentuk permasalahan dan pemecahannya ketika terjadi ta’addud
al-sabab wa al-nazil wahid, yaitu riwayat tentang sebab turun ayat lebih
dari satu riwayat sedang ayat yang turun satu atau beberapa ayat yang turun
serempak. Adapun jika sebaliknya, yaitu ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid
(ayat yang turun berbeda dan sababnya tunggal atau sama), maka hal yang
demikian tidak menjadi masalah. Hal demikian tidak bertentangan dengan hikmah
untuk meyakinkan manusia dan menjelaskan kebenaran. Bahkan, cara yang demikian
bisa lebih efektif.[10]
E.
Ungkapan Ungkapan Asbabun Nuzul.
Ungkapan-ungkapan yang
digunakan para sahabat untuk menunjukkan sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an
tidak selamanya sama. Ungkapan-ungkapan itu beberapa bentuk sebagai berikut :
a.
Sabab al-Nuzul disebutkan dengan
ungkapan yang jelas, seperti :سبب نزول
هذه الاية كذا (Sebab
turun ayat ini demikian). Ungkapan ini secara definitif menunjukkan sabab
al-nuzul dan tidak mengandung kemungkinan makna lain.
b.
Sabab al-Nuzul tidak ditujukan dengan lafal sabab, tetapi dengan mendatangkan
lafal ف yang masuk
kepada ayat dimaksud secara lansung setelah pemaparan suatu peristiwa atau
kejadian. Ungkapan seperti ini juga menunjukkan bahwa peristiwa itu adalah
sebab bagi turunnya ayat tersebut. Misalnya ialah sabab al-nuzul yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir. Jabir berkata : “orang-orang Yahudi
berkata: “Barang siapa yang menggauli istrinya pada kubulnya dari arah
duburnya, anaknya akan lahir dalam keadaan juling” maka Allah menurunkan ayat:
نسا وْكم حرث لكم فأتوا حرثكم
انى شىْتم وقدموا لانفسكم واتقو الله
واعلموا انكم ملقوه وبشر الموْمنين
(البقرة 223)
c.
Sabab al-Nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Dalam hal ini, rasul ditanya
orang, maka ia diberi wahyu dan menjawab pertanyaan itu dengan ayat yang baru
diterimanya. Para mufassir tidak menunjukkan sabab turunnya dengan lafal sabab
al-nuzul dan tidak dengan mendatangkan ف akan
tetapi sabab al-nuzulnya dipahami melalui konteks dan jalan ceritanya,
seperti sebab turunnya ayat tentang ruh yang diriwayatkan dari ibn Mas’ud.
d.
Sabab al-nuzul tidak disebutkan dengan ungkapan sebab secara jelas, tidak dengan
mendatangkan ف yang menunjukkan sebab, dan tidak pula berupa
jawaban yang dibangun atas dasar pertanyaan, akan tetapi dikatakan :
نزلت هذه الاية فى كذا
Ungkapan seperti ini tidak
secara definitif menunjukkan sebab, tetapi ungkapan ini mengandung makna sebab
dan makna lainnya, yaitu tentang hukum kasus atau persoalan yang sedang
dihadapi. Maka menurut Al-Zarqani, salah satunya jalan untuk menentukan salah
satu dari dua makna yang terkandung dalam ungkapan itu adalah konteks
pembicaraannya.[11]
F.
Apakah
Ibarat Itu Dipandang dari Umumnya Lafal atau Khususnya Sebab?
Ulama Usul
berbeda pendapat tentang masalah, “apakah ibarat itu dipandang dari segi
umumnya lafal atau dari segi khususnya sebab? Dalam arti apabila terjadi suatu
peristiwa lalu turunlah ayat yang berhubungan dengan peristiwa tersebut, apakah
hukumnya ditujukan untuk masalah dan kejadian atau orang yang menjadi kasus
diturunkannya ayat tersebut atau hukum itu berlaku secara menyeluruh?
a. Jumhur ulama
berpendapat yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum dan bukan sebab yang
khusus. Hukum yang diambil dari lafal yang umum itu melampaui bentuk .[12]
Imam
as-Suyuti dalam kitabnya Al-Itqan Fi
Ulumal al-Qur’an mengatakan: “Diantara dalil/alasan yang menunjukkan bahwa
suatu ibarat itu harus dipandang dari umumnya lafal adalah diambil dari para
sahabat dan lainnya, yang dalam beberapa kasus ditetapkan berdasarkan umumnya
suatu lafal padahal kasusnya pada persoalan khusus.” Ada hadits riwayat dari
Ibnu Abbas menyatakan dalam masalah ini bahwa yang dipandang adalah umumnya
lafal, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas bahwa ayat tentang hukuman
mencuri berlaku untuk umum sesuai dengan firman Allah:
والسارق والسارقة فا قطعوا ايديهما....
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri potonglah tangan keduanya…” (QS al-Maidah:38)
b. Segolongan
ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan
lafal yang umum; karena lafal yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang
khusus. Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab
diperlukan dalil lain seperti qiyas dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat
sebab yang khusus itu mengandung faedah, dan sebab tersebut sesuai dengan
musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya.
G.
Faedah
mengetahui Asbabun Nuzul dan Peranan Dalam Memahami atau Menafsirkan Ayat dalam
Al-Qur’an
Sebagian
orang ada yang beranggapan bahwa ilmu Asbabun Nuzul tidak ada gunanya dan tidak
ada pengaruhnya karena pembahasannya hanyalah berkisar pada lapangan sejarah
dan cerita. Menurut anggapan mereka, ilmu Asbabun Nuzul tidak mempermudah bagi
orang yang hendak bercimpung dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Anggapan
tersebut adalah salah dan tidak patut didengar karena tidak berdasarkan
pendapat para ahli tafsir.
Berikut ini beberapa faedah
mengetahui Asbabun Nuzul ayat diantaranya:[13]
1. Membantu
dalam memahami ayat, dan menghilangkan keraguan tentangnya. Al-Wahidi dalam
kitab Asbabun Nuzul berkata: “Menafsirkan ayat tanpa bertitik tolak dari
sejarah dan penjelasan turunnya tidaklah mungkin.”
Ibnu Daqiq
al-led berkata: “Mengetahui Asbabun Nuzul adalah cara yang tepat untuk memahami
al-Qur’an.”
Ibnu
Taimiyyah berkomentar: “Ilmu Asbabun Nuzul akan membantu dalam memahami ayat
karena ilmu tentang sebab akan menimbulkan ilmu tentang akibat.”
2. Mengetahui
hikmah rahasia yang terkandung dalam pengsyari’atan hukum dalam suatu ayat.
3. Hal ini
bermanfaat bagi mukmin dan bukan mukmin. Adapun bagi orang mukmin akan
bertambah keimanannya dan jelas baginya hikmah disyari’atkannya suatu hukum
oleh Allah. Sedangkan yang bukan mukmin mengetahui lewat Asbabun Nuzul ini
bahwa syari’at Islam itu sesungguhnya mendatangkan manfaat dan menolak
kemudharatan bagi pemeluknya.
4. Menghindarkan
prasangka bahwa arti hasr (batasan
tertentu) dalam suatu ayat zahirnya hasr.
Imam Syafi’I
meriwayatkan tentang firman Allah:
قل لا أجد فيما أوحى الى محرم على طاعم يطعمه
“Katakanlah! Tiadalah aku mendapatkan sesuatu yang
diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya…”
(QS
al-An’am: 145)
Beliau
mengungkapkan bahwa ayat tersebut ditujukan bagi orang kafir yang mengaharamkan
sesuatu yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah serta
mereka yang terlalu berlebihan. Turunnya ayat ini adalah sebagai bantahan
terhadap mereka. Dengan demikian, seolah-olah Allah berfirman, “ Yang halal yang kamu anggap haram dan yang
haram yang kamu anggap halal.” Dalam hal ini, Allah tidak bermaksud
menetapkan kebalikan dari ketentuan di atas, melainkan sekedar menjelaskan
ketentuan yang haram dan sama sekali tidak menyinggung-nyinggung yang halal.
5. Menentukan
hukum (takhsis) dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa suatu ibarat
dinyatakan berdasarkan khususnya sebab bukan berdasarkan umumnya lafal.
6. Mengetahui
orang atau kelompok yang menjadi kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan
bila terdapat keragu-raguan karena jika kita tidak mengetahui Asbabun Nuzul
bisa jadi kita mentakhsiskan ayat yang seharusnya ‘amm atau sebaliknya.
7. Memudahkan
dalam penghafalan dan pemahaman al-Qur’an serta menguatkan ingatan terhadap
hukum dari suatu ayat dengan karena mengetahui sebab dan akibatnya, kapan dan
kepada siapa ayat tersebut diturunkan, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas
dapat di simpulkan bahwa Asbab An-Nuzul adalah sebab turunnya al-Qur’an (berupa
peristiwa/pertanyaan) yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an dalam
rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari
kejadian tersebut. Asbabun nuzul
terdiri dari kata asbab (jamak dari sababa yang artinya sebab-sebab), dan nuzul
(artinya turun).
Macam-macam asbab an-nuzul yaitu : Dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbabun nuzul
meliputi sharih dan muhtamilah dan Dari sudut pandang terbilangnya asbab an-nuzul untuk satu ayat atau
terbilangnya ayat untuk satu asbab an-nuzul meliputi : Beberapa sebab yang
hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat, Satu sebab yang melatarbelakangi
turunnya beberapa ayat. Dari segi bentuk
turunnya ayat, asbabun nuzul dibagi menjadi 2 yaitu: Berbentuk peristiwa dan Berbentuk pertanyaan.
Kaidah hukum yang belum jelas dalam al-Qur’an, dapat dipermudah dengan
mengetahui asbab-nuzulnya. Karena dengannya penafsiran ayat lebih jelas untuk
dipahami. Kegunaan asbabun nuzul bagi orang mukmin dengan
diturunkannya ayat Al Quran, maka dapat menambah keimanannya terhadap apa yang
disaksikannya sendiri dan dia mengetahui apa sebab diturunkan ayat tersebut.
Sedangkan bagi orang kafir, maka ia dapat menginsafkannya kepada keindahan dan
benarnya risalah ketuhanan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Az-Zarkasyi, Muhammad Ibnu Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an, Kairo: Dar
Al-Hadits, 2006
Al-Qattan, Manna Khalil, pentj.
Muzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Bogor:
Pustaka Lintera Antar Nusa, 2007
As-Suyuti, Imam, Al-itqon fii Ulum al-Qur’an, juz 1, no.342 (maktabah Syamilah)
Abdul,
Wahid Ramli, Ulumul Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada, 2002
Abu Syabah, Muhammad, Al-Madkhal li Dirasati Al-Qur’an Al-Karimi, Kairo: Maktabah
As-Sunnah, 2002
Al-Zarqani, Muhammad Abdul Adzim, Syeikh. Manahil
al-‘Urfan fi ulum al-Qur’an. Jakarta Gaya Media Pratama, 2001.
Ibrahim, Musa, Buhuts Manhajiyyah fi Ulum al-Qur’an al-Karim, Oman: Dar Ammar,
1996
Manna’ul Quthan. Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an. Alih
bahasa Halimuddin, S.H. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1998.
iv
[2] Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdhor, Kamus
Karabiyak, Al’asri ‘arabi indonisy. Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998.
h. 1905.
[3]Musa Ibrahim, Buhuts Manhajiyyah fi Ulum al-Qur’an
al-Karim, (Oman: Dar Ammar, 1996), h. 30.
[4] Imam As-Suyuti, Al-itqon fii Ulum al-Qur’an, juz 1,
no.342 (maktabah Syamilah)
[5] Manna’ul Quthan. Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an. Alih
bahasa Halimuddin, S.H. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1998. h. 85.
[7] Syeikh Muhammad Abdul Adzim
al-Zarqani. Manahil al-‘Urfan fi ulum al-Qur’an. Jakarta Gaya Media
Pratama, 2001. h 122.
[8] H. Ramli Abdul Wahid, M.A. Ulumul
Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada 2002. h 43.
[12] Muhammad
Abu Syabah, Al-Madkhal Li Dirasati Al-Qur’an
Al-Karimi. Kairo. Maktabah As-Sunnah, 2002. h 136-143
[13] ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar