Jumat, 24 Februari 2017

makalah zakat profesi




ZAKAT PROFESI
TUGAS INDIVIDU
SEMESTER VIIC
  MATA KULIAH : FIQIH PRAKTEK
  NAMA DOSEN   :


DISUSUN
 








OLEH :

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjN-i0oqSUVCLTLVjBZwoRWIYBSJkjMnmAJTAcWNFHoV2sjsuQT5KAc881ZnjyB31WbfzfbBaf-IrHOs0Kw6q2NTSzZ043dfydOMmMnNN4QYHgbaWd7gwADaKOFOUN08Sdx37Q3aFpspAI/s1600/STAI+JM.jpgLAILAN SAFINAH




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
MAHMUDIYAH JAM’IYAH
TANJUNG PURA
2017


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Sang Illahi Robbi yang mana atas berkat dan Rahmat-Nyalah kami bisa menyelesaikan makalah ini, tak lupa sholawat dan salam marilah kita limpah curahkan kepada Guru besar kita Yakni Nabi Muhammad SAW, tanpa adanya beliau mungkinkah kita terbebas dari zaman kebodohan.
Dalam makalah ini penulis membahas tentang , zakat Profesi makalah ini kami tujukan untuk memenuhi tugas individu Praktek Fiqih. Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi yang membutuhkan baik bagi dunia pendidikan ataupun para akademisi yang ingin meningkatkan atas pengetahuanya. apabila ada kesalahan dalam makalah ini kami mohon maaf  yang sebesar – besarnya, karena kealpaan, kehilafan itu adalah sifat manusia yang nyata didunia, maka segala saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kemajuan, sangat kami harapkan.
Akhir kata dari penulis mengucapkan banyak terima kasih.





                                                                                    Tanjung Pura,  Januari 2017


                                                                                    LAILAN SAFINAH










i

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………….……          i
Daftar Isi……………………………………………………………………………..           ii
Bab I …………………………………………………………………………………          1
Pendahuluan………………………………………………………………………....           1
A.    Latar Belakang………………………………………………………….…….           1
B.     Rumusan Masalah ……………………………………………………………           1
C.     Tujuan Penulisan………………………………………………………………          1
Bab II ………………………………………………………………………………..           2
Pembahasan…………………………………………………………….…………….          2
  1. Pengertian Zakat Profesi………………………………………….…………..         
  2. Profesi Yang dizakati…………………………………………………………        
Bab III ……………………………………………………………………………….         
Penutup……………………………………………………………………………….         
A.    Kesimpulan…………………………………………….;;…………………….         
Daftar Pustaka………………………………………………………………………..          iii












i


BAB I
PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa wacana yang tengah hangat dalam dunia zakat selama beberapa dekade terakhir ini adalah diperkenalkannya instrument zakat profesi di samping zakat fitrah dan zakat maal (zakat harta). Dengan munculnya zakat profesi ini memunculkan banyak perbincangan. Mereka yang menentang penerapan syariat zakat profesi ini beranggapan bahwa zakat profesi tidak pernah dikenal sebelumnya di dalam syariat Islam dan merupakan hal baru yang diada-adakan. Sedangkan mayoritas ulama kontemporer telah sepakat akan legalitas zakat profesi tersebut.
Zakat profesi itu sendiri merupakan zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi atau hasil profesi bila telah sampai pada nisabnya.  Zakat profesi memangbelum dikenal dalam khazanah keilmuan Islam, jadi banyak diperdebatkan.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian zakat profesi, profesi apa yang harus dizakati dan ketentuan dalam zakat profesi.

B.         Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1.            Apa pengertian dari zakat profesi?
2.            Apa saja profesi yang dizakati?
3.            Bagaimana ketentuan-ketentuan dalam zakat profesi?

C.        Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasannya adalah:
1.            Untuk memahami pengertian dari zakat profesi
2.            Untuk memahami profesi apa saja yang harus dizakati
3.            Untuk memahami ketentuan-ketentuan dari zakat profesi







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Zakat Profesi
1.      Pengertian Zakat Profesi
Ditinjau dari segi bahasa zakat berarti suci, berkah, tumbuh, dan terpuji. Adapun secara istilah para ulama mempunyai pandangan tersendiri mengenai pengertian zakat, di antaranya:
a.       Al Mawardi, “Zakat adalah harta tertentu yang diberikan kepada orang tertentu, menurut syarat-syarat tertentu pula[1]
b.      Yusuf Qardawi, “Zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak[2]
Selanjutnya mengenai pengertian profesi adalah sebuah pekerjaan, usaha profesi, atau pemberian jasa yang menghasilkan. Di dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa profesi adalah “pekerjaan sebagai atas keahliannya sebagai mata pencahariannya”.
 Mahjuddin di dalam bukunya[3] mengatakan bahwa yang dimaksud profesi adalah suatu pekerjaan tetap dengan keahlian tertentu yang dapat menghasilkan gaji, honor, upah atau imbalan, seperti profesi dokter, guru, dosen, pengacara, pegawai negeri, dan yang lainnya. Fachrudin, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad di dalam buku Zakat Profesi, mengatakan :
Profesi adalah segala usaha yang halal yang mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang mudah, baik melalui suatu keahlian tertentu atau tidak.[4]
Dari beberapa pengertian zakat dan profesi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud zakat profesi adalah harta zakat yang dikeluarkan dari sumber usaha profesi atau pendapatan dari penjualan jasa. Hal ini selaras dengan pengertian yang diberikan oleh Ahmadi dan Yeni Priyatna Sari, yakni :
Harta yang diperoleh dari pemanfaatan potensi yang ada pada dirinya dan dimiliki   dengan kepemilikan yang baru dengan berbagai macam upaya pemilikan yang            syar’i, seperti: hibah, upah kerja rutin, profesi dokter, penceramah, arsitek,    pengacara, akuntan, dan lain-lain.[5]

2.            Landasan hukum zakat profesi
Mengenai dalil kewajiban berzakat dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian. Yang pertama adalah dalil-dalil kewajiban zakat yang secara khusus menyebutkan jenis zakat tersebut, seperti zakat emas dan perak, zakat hewan ternak, dan yang lainnya. Dan yang kedua adalah dalil umum mengenai zakat seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 219 dan 267,
... وَيَسْئَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ قُلِ اْلعَفْوَ ...
Artinya: “…Dan mereka bertanya kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, Kelebihan (dari apa yang diperlukan)…” (QS. Al Baqarah: 219)
ياَ أَيُّهَا اَّلذِيْنَ أَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّببَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ اْلأَرْضِ ...
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu” (QS. Al Baqarah: 267)
Selain itu terdapat pula hadits dari Nabi Muhammad sewaktu beliau mengutus Mu’adz ke negeri Yaman yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang artinya: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka untuk membayar zakat harta yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin di kalangan mereka”(muttafaqun ‘alaih).[6]
Meskipun tidak pernah disebutkan secara langsung di dalam Al Qur’an maupun Sunnah Nabi Muhammad, jika dalil-dalil umum tentang zakat dikaji lebih mendalam lagi maka akan ditemukan sebuah isyarat akan berlakunya hukum zakat bagi profesi. Isyarat tersebut berupa perintah umum untuk mengeluarkan zakat terhadap harta yang melebihi kebutuhan. Dewasa ini pekerjaan seseorang sebagai professional mempunyai penghasilan yang cukup besar. Abdul Ghofur Anshori menyatakan apabila seorang petani yang pada zaman sekarang ini bersusah payah menanam dan memelihara sawahnya serta memanennya saja dikenakan wajib zakat apalagi seorang professional yang memiliki penghasilan cukup besar dengan pekerjaan yang tidak menuntut etos kerja super keras layaknya petani.[7]
Adanya zakat profesi dipertegas oleh konsensus yang dihasilkan dalam Muktamar Internasional tentang zakat di Kuwait pada tanggal 29 Rajab 1404 atau 30 April 1984. Para peserta muktamar tersebut telah bersepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah mencapai nishab.

3.            Ketentuan zakat profesi
Setiap jenis zakat mempunyai nishab yang menjadi batas minimal timbulnya kewajiban mengeluarkan zakat. Adapun mengenai nishab zakat profesi terdapat tiga pendapat terhadapnya, sebagaimana yang penulis simpulkan dari buku Zakat dalam Perekonomian Modern [8]Yang pertama menganalogikan zakat profesi kepada zakat perdagangan, sehingga nishabnya adalah 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 persen dan dikeluarkan setahun sekali setelah dikurangi kebutuhan pokok. Yang kedua menganalogikan kepada zakat pertanian dengan nishab senilai 653 kilogram padi atau gandum dengan kadar zakat 5 persen dan dikeluarkan setiap kali mendapatkan penghasilan atau gaji. Dan yang terakhir menyandarkan analogi zakat profesi kepada zakat rikaz, sehingga tidak ada nishab pada zakat profesi dan dikeluarkan dengan kadar 20 persen setiap kali menerima penghasilan atau gaji.

4.            Kontroversi zakat profesi
Zakat profesi merupakan hal baru di dunia Islam yang muncul belakangan ini. Pro dan kontra mewarnai perdebatan mengenai hal tersebut. Selain pihak yang menyepakati adanya zakat profesi juga terdapat pihak lain yang menolak keberlakuan zakat model iniPihak yang kontra terhadap zakat profesi berdalih bahwa zakat berikut jenis-jenisnya adalah bentuk ibadah tauqifi, yakni ibadah yang telah ditetapkan oleh ajaran agama sehingga tidak boleh diutak-atik. Selain itu ada juga yang menyatakan kekeliruan terhadap qiyas zakat profesi, khususnya terhadap kalangan yang mengqiyaskan zakat profesi kepada zakat pertanian secara universal, yang mana hasil pertanian baru dapat dipanen sekitar 2-3 bulan dan kadar zakatnya adalah 5 persen untuk yang diairi dan 10 persen untuk yang tidak diairi, sedangkan untuk kadar zakat profesi yang ditentukan dipungut setiap bulan saja masih diperdebatkan. Kelompok ini juga mengatakan bahwa menganalogikan zakat profesi kepada zakat rikaz adalah bentuk kezhaliman, hal itu disebabkan kebutuhan manusia berbeda-beda dan dipenuhi melalui penghasilan atau gaji yang ia dapatkan tersebut dan jika harus dipotong 20 persen setiap bulan maka ia akan mengalami kesulitan di dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menanggapi pernyataan pihak yang kontra terhadap zakat profesi, penulis beranggapan bahwa argumen yang mereka berikan dapat diambil hikmahnya. Allah telah berfirman di dalam surat Al Baqarah ayat 219 yang pada intinya menentukan secara umum bahwa zakat diambil dari hasil kelebihan dari kebutuhan, tak terkecuali penghasilan dari profesi. Adapun orang-orang yang justru kekurangan dalam hal pemenuhan kebutuhan maka baginya tidak ada kewajiban zakat. Penulis berpendapat bahwasanya zakat profesi tetap dibebankan kepada mukallaf yang memiliki pekerjaan atau seorang professional, sebagaimana argumen dan landasan hukum yang telah penulis paparkan pada pembahasan sebelumnya.
Adapun zakat profesi lebih utama diqiyaskan kepada zakat emas atau zakat perdagangan dan zakat hasil pertanian. Namun khusus untuk pekerjaan bernilai prestise yang tinggi, seperti pejabat, artis, dokter, dan yang lainnya, yang merupakan bentuk komoditi paling menguntungkan saat ini dapat lebih diharapkan untuk menyadari diri untuk mengqiyaskan kepada zakat pertanian, yang juga merupakan komoditi terlaris pada zaman perkembangan Islam di Madinah, dengan kadar 5 persen (disebabkan profesi merupakan pekerjaan yang menggunakan keahlian dan tenaga manusia) yang dikeluarkan setiap bulan atau setiap mendapatkan penghasilan.

B.     Profesi yang Di Zakati
Barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan dan profesinya. Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam.
Yang pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor, insinyur, advokat seniman, penjahit, tukang kayu dan lain-lainnya.[9]
Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.
Penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-tengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil penghasilan setiap tahun, karena hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut. Berdasar hal itu, kita dapat menetapkan hasil penghasilan sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fikih sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat.
Dan karena Islam mempunyai ukuran bagi seseorang – untuk bisa dianggap kaya - yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran Junaih Mesir lama maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat seseorang untuk terkena kewajiban zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat dan orang miskin penerima zakat.
Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan itu harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil penghasilan dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin, seorang pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut.[10]
Mengenai besar zakat, Penghasilan dan profesi dalam fikih masalah khusus mengenai penyewaan. Seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab.
Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegaskan lebih dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup pada akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab yang telah berumur setahun.
Akibat dari tafsiran itu, kecuali yang menentang, adalah bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau semacamnya sebulan dari dua belas bulan. Karena ketentuan wajib zakat adalah cukup nisab penuh pada awal tahun atau akhir tahun.
Pendapat guru-guru besar tentang hasil penghasilan dan profesi dan pendapatan dari gaji atau lain-lainnya yaitu kekayaan yang diperoleh seseorang Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan syariat agama. Jadi pandangan fikih tentang bentuk penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah "harta penghasilan." Sekelompok sahabat berpendapat bahwa kewajiban zakat kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu batas waktu setahun.
Yang diperlukan zaman sekarang ini adalah menemukan hukum pasti "harta penghasilan" itu, oleh karena terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa hasil penghasilan, profesi, dan kekayaan non-dagang dapat digolongkan kepada "harta penghasilan" tersebut. Bila kekayaan dari satu kekayaan, yang sudah dikeluarkan zakatnya, yang di dalamnya terdapat "harta penghasilan" itu, mengalami perkembangan, misalnya laba perdagangan dan produksi binatang ternak maka perhitungan tahunnya disamakan dengan perhitungan tahun induknya. Hal itu karena hubungan keuntungan dengan induknya itu sangat erat.
Berdasarkan hal itu, bila seseorang sudah memiliki satu nisab binatang ternak atau harta perdagangan, maka dasar dan labanya bersama-sama dikeluarkan zakatnya pada akhir tahun. Ini jelas. Berbeda dengan hal itu, "harta penghasilan" dalam bentuk uang dari kekayaan wajib zakat yang belum cukup masanya setahun, misalnya seseorang yang menjual hasil tanamannya yang sudah dikeluarkan zakatnya 1/10 atau 1/20, begitu juga seseorang menjual produksi ternak yang sudah dikeluarkan zakatnya, maka uang yang didapat dari harga barang tersebut tidak dikeluarkan zakatnya waktu itu juga. Hal itu untuk menghindari adanya zakat ganda, yang dalam perpajakan dinamakan "Tumpang Tindih Pajak."
Yang jelas pendapat tersebut diatas adalah pendapat ulama- ulama fikih meskipun yang terkenal banyak di kalangan para ulama fikih itu adalah bahwa masa setahun merupakan syarat mutlak setiap harta benda wajib zakat, harta benda perolehan maupun bukan. Hal itu berdasarkan hadis-hadis mengenai ketentuan masa setahun tersebut dan penilaian bahwa hadis-hadis tersebut berlaku bagi semua kekayaan termasuk harta hasil usaha.

C.    Ketentuan-ketentuan Zakat Profesi
Istilah zakat profesi adalah baru, sebelumnya tidak pernah ada seorang 'ulamapun yang mengungkapkan dari dahulu hingga saat ini, kecuali Syaikh Yusuf Qaradhowy menuliskan masalah ini dalam kitab Zakat-nya, kemudian di taklid (diikuti tanpa mengkaji kembali kepada nash yang syar'i) oleh para pendukungnya, termasuk di Indonesia ini.
Dalam ketentuan zakat profesi terdapat beberapa kemungkinan dalam menentukan nishab, kadar, dan waktu mengeluarkan zakat profesi. Hal ini tergantung pada qiyas (analogi)  yang dilakukan :
Yang pertama, Jika dianalogikan pada zakat perdagangan, maka nishab, kadar, dan waktu mengeluarkannya sama dengannya dan sama pula dengan zakat emas dan perak. Nishabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 % dan waktu mengeluarkannya setahun sekali, setelah dikurangi kebutuhan pokok. Cara menghitung misalnya : jika si A berpenghasilan Rp 5.000.000,00 setiap bulan dan kebutuhan pokok perbulannya sebesar Rp 3.000.000,00 maka besar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 % x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp 600.000,00 pertahun /Rp 50.000,00 perbulan.
Yang kedua, Jika dianalogikan pada zakat pertanian, maka nishabnya senilai 653 kg padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5 % dan dikeluarkan pada setiap mendapatkan gaji atau penghasilan. Misalnya sebulan sekali. Cara menghitungnya contoh kasus di atas, maka kewajiban zakat si A adalah sebesar 5% x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp 1.200.000,00 pertahun / Rp 100.000,00 perbulan.
Yang ketiga, Jika dianalogikan pada zakat rikaz, maka zakatnya sebesar 20 % tanpa ada nishab, dan dikeluarkan pada saat menerimanya.[11] Cara menghitungnya  contoh kasus di atas, maka si A mempunyai kewajiban berzakat sebesar 20 % x Rp 5.000.000,00 atau sebesar Rp 1.000.000,00 setiap bulan.
Mengenai waktu pengeluaran zakat profesi ini beberapa ulama berbeda pendapat sebagai berikut:  
Pendapat As-Syafi'i dan Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat
Pendapat Abu Hanifah, Malik dan ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat.
Pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz dan ulama modern seperti Yusuf Qardhawi tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi ( guru, dokter, aparat, dan lain-lain ) atau hasil profesi bila telah sampai pada nisabnya
Profesi yang dizakati adalah profesi yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Dan profesi yang dikerjakan seseorang buat pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya
Ketentuan-ketentuan zakat profesi adalah ditentukan batas minimal nishab danharus menjalani haul (putaran satu tahun)
Ada tiga pendapat mengenai nishab zakat profesi, Pertama menganalogikan zakat profesi kepada zakat perdagangan, sehingga nishabnya adalah 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 persen dan dikeluarkan setahun sekali setelah dikurangi kebutuhan pokok. Yang kedua menganalogikan kepada zakat pertanian dengan nishab senilai 653 kilogram padi atau gandum dengan kadar zakat 5 persen dan dikeluarkan setiap kali mendapatkan penghasilan atau gaji. Dan yang terakhir menyandarkan analogi zakat profesi kepada zakat rikaz, sehingga tidak ada nishab pada zakat profesi dan dikeluarkan dengan kadar 20 persen setiap kali menerima penghasilan atau gaji. 















DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi dan Yeni Priyatna Sari, Zakat, Pajak, dan Lembaga Keuangan Islami dalam Tinjauan Fiqih, Solo: Era Intermedia.
Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Pemberdayaan Zakat, cet. II, Yogyakarta: Pilar Media, 2006.
Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.
Hafiuddin, Didin Zakat Infaq Sedekah, Gema Insani Press: Jakarta, 1999
Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Maram (terjemah), cet. V, Solo: At Tibyan, 2011.
Daradjat, Zakiah. Zakat Pembersih Harta Dan Jiwa, CV. Puhama: Jakarta, 1996
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Al Juhairi, Wahab. Zakat Kajian Berbagai Madzhab, PT. Remaja Rosdakarya:
Bandung, 1995
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, cet. IX, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2006.
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, cet. V, Jakarta: Kalam Mulia, 2005.
Muhammad, Zakat Profesi, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.











iii


[1] Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, h. 157.
[2] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, cet. IX, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2006, h. 34.
[3] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, cet. V, Jakarta: Kalam Mulia, 2005, h. 271.
[4] Muhammad, Zakat Profesi, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, h. 58.
[5] Ahmadi dan Yeni Priyatna Sari, Zakat, Pajak, dan Lembaga Keuangan Islami dalam Tinjauan Fiqih, Solo: Era Intermedia, 2004, h. 58.
[6] Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Maram (terjemah), cet. V, Solo: At Tibyan, 2011, h. 249.
[7] Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Pemberdayaan Zakat, cet. II, Yogyakarta: Pilar Media, 2006, h. 89.
[8] Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, h. 96-98.

[9] Zakiah Daradjat, Zakat Pembersih Harta Dan Jiwa, ( Cv. Puhama: Jakarta, 1996) , hal. 56
[10] Wahab Al Juhairi, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, ( PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 1995 ), hal. 45
[11] Didin hafidhuddin, Zakat dalam perekonomian modern. (Jakarta, Gema insani, 2002) hl 96-97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar