ZAKAT PROFESI
TUGAS INDIVIDU
SEMESTER VIIC
MATA KULIAH : FIQIH
PRAKTEK
NAMA DOSEN
:
OLEH :
LAILAN SAFINAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM
MAHMUDIYAH JAM’IYAH
TANJUNG PURA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Sang Illahi
Robbi yang mana atas berkat dan Rahmat-Nyalah kami bisa menyelesaikan
makalah ini, tak lupa sholawat dan salam marilah kita limpah curahkan kepada
Guru besar kita Yakni Nabi Muhammad SAW, tanpa adanya beliau
mungkinkah kita terbebas dari zaman kebodohan.
Dalam makalah ini penulis membahas
tentang , zakat Profesi makalah ini
kami tujukan untuk memenuhi tugas individu Praktek Fiqih. Makalah ini
diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi yang membutuhkan baik bagi dunia
pendidikan ataupun para akademisi yang ingin meningkatkan atas pengetahuanya.
apabila ada kesalahan dalam makalah ini kami mohon maaf yang sebesar
– besarnya, karena kealpaan, kehilafan itu adalah sifat manusia yang nyata
didunia, maka segala saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kemajuan,
sangat kami harapkan.
Akhir kata dari penulis mengucapkan
banyak terima kasih.
Tanjung
Pura, Januari 2017
LAILAN SAFINAH
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………….…… i
Daftar Isi…………………………………………………………………………….. ii
Bab I ………………………………………………………………………………… 1
Pendahuluan……………………………………………………………………….... 1
A. Latar
Belakang………………………………………………………….……. 1
B. Rumusan Masalah
…………………………………………………………… 1
C. Tujuan
Penulisan……………………………………………………………… 1
Bab II ……………………………………………………………………………….. 2
Pembahasan…………………………………………………………….……………. 2
- Pengertian Zakat Profesi………………………………………….…………..
- Profesi Yang dizakati…………………………………………………………
Bab III
……………………………………………………………………………….
Penutup……………………………………………………………………………….
A. Kesimpulan…………………………………………….;;…………………….
Daftar Pustaka……………………………………………………………………….. iii
i
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Seperti yang
kita ketahui bersama, bahwa wacana yang tengah hangat dalam dunia zakat selama
beberapa dekade terakhir ini adalah diperkenalkannya instrument zakat profesi
di samping zakat fitrah dan zakat maal (zakat harta). Dengan munculnya zakat
profesi ini memunculkan banyak perbincangan. Mereka yang menentang penerapan
syariat zakat profesi ini beranggapan bahwa zakat profesi tidak pernah dikenal
sebelumnya di dalam syariat Islam dan merupakan hal baru yang
diada-adakan. Sedangkan mayoritas ulama kontemporer telah sepakat akan
legalitas zakat profesi tersebut.
Zakat
profesi itu sendiri merupakan zakat yang dikeluarkan dari penghasilan
profesi atau hasil profesi bila telah sampai
pada nisabnya. Zakat profesi memangbelum dikenal dalam
khazanah keilmuan Islam, jadi banyak diperdebatkan.
Maka dari itu, dalam makalah ini
akan dibahas mengenai pengertian zakat profesi, profesi apa yang harus dizakati
dan ketentuan dalam zakat profesi.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1.
Apa pengertian dari
zakat profesi?
2.
Apa saja profesi yang
dizakati?
3.
Bagaimana
ketentuan-ketentuan dalam zakat profesi?
C.
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasannya adalah:
1.
Untuk memahami
pengertian dari zakat profesi
2.
Untuk memahami profesi
apa saja yang harus dizakati
3.
Untuk memahami
ketentuan-ketentuan dari zakat profesi
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Zakat Profesi
1.
Pengertian Zakat Profesi
Ditinjau dari segi bahasa zakat berarti suci,
berkah, tumbuh, dan terpuji. Adapun secara istilah para ulama mempunyai
pandangan tersendiri mengenai pengertian zakat, di antaranya:
a.
Al Mawardi, “Zakat adalah harta tertentu yang
diberikan kepada orang tertentu, menurut syarat-syarat tertentu pula”[1]
b.
Yusuf Qardawi, “Zakat adalah sejumlah
harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak”[2]
Selanjutnya mengenai pengertian profesi adalah
sebuah pekerjaan, usaha profesi, atau pemberian jasa yang menghasilkan. Di
dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa profesi adalah “pekerjaan
sebagai atas keahliannya sebagai mata pencahariannya”.
Mahjuddin di dalam bukunya[3] mengatakan bahwa yang
dimaksud profesi adalah suatu pekerjaan tetap dengan keahlian tertentu yang
dapat menghasilkan gaji, honor, upah atau imbalan, seperti profesi dokter,
guru, dosen, pengacara, pegawai negeri, dan yang lainnya. Fachrudin,
sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad di dalam buku Zakat Profesi, mengatakan
:
Profesi adalah segala usaha yang halal yang
mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang mudah, baik
melalui suatu keahlian tertentu atau tidak.[4]
Dari beberapa pengertian zakat dan profesi di
atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud zakat profesi adalah harta zakat
yang dikeluarkan dari sumber usaha profesi atau pendapatan dari penjualan jasa.
Hal ini selaras dengan pengertian yang diberikan oleh Ahmadi dan Yeni Priyatna
Sari, yakni :
Harta yang diperoleh dari pemanfaatan potensi
yang ada pada dirinya dan dimiliki dengan kepemilikan yang baru dengan
berbagai macam upaya pemilikan yang
syar’i, seperti:
hibah, upah kerja rutin, profesi dokter, penceramah, arsitek,
pengacara, akuntan, dan lain-lain.[5]
2.
Landasan hukum zakat profesi
Mengenai dalil kewajiban berzakat dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian. Yang pertama adalah dalil-dalil kewajiban
zakat yang secara khusus menyebutkan jenis zakat tersebut, seperti zakat emas
dan perak, zakat hewan ternak, dan yang lainnya. Dan yang kedua adalah dalil
umum mengenai zakat seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 219 dan
267,
...
وَيَسْئَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ قُلِ اْلعَفْوَ ...
Artinya: “…Dan mereka bertanya kepadamu (tentang) apa yang
(harus) mereka infakkan. Katakanlah, Kelebihan (dari apa yang diperlukan)…”
(QS. Al Baqarah: 219)
ياَ أَيُّهَا اَّلذِيْنَ
أَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّببَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ
اْلأَرْضِ ...
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untuk kamu” (QS. Al Baqarah: 267)
Selain itu terdapat pula hadits dari Nabi
Muhammad sewaktu beliau mengutus Mu’adz ke negeri Yaman yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas yang artinya: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka
untuk membayar zakat harta yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan
kepada orang-orang miskin di kalangan mereka”(muttafaqun ‘alaih).[6]
Meskipun tidak pernah disebutkan secara langsung
di dalam Al Qur’an maupun Sunnah Nabi Muhammad, jika dalil-dalil umum tentang
zakat dikaji lebih mendalam lagi maka akan ditemukan sebuah isyarat akan
berlakunya hukum zakat bagi profesi. Isyarat tersebut berupa perintah umum
untuk mengeluarkan zakat terhadap harta yang melebihi kebutuhan. Dewasa ini
pekerjaan seseorang sebagai professional mempunyai penghasilan yang cukup besar.
Abdul Ghofur Anshori menyatakan apabila seorang petani yang pada zaman sekarang
ini bersusah payah menanam dan memelihara sawahnya serta memanennya saja
dikenakan wajib zakat apalagi seorang professional yang memiliki penghasilan
cukup besar dengan pekerjaan yang tidak menuntut etos kerja super keras
layaknya petani.[7]
Adanya zakat profesi dipertegas oleh konsensus
yang dihasilkan dalam Muktamar Internasional tentang zakat di Kuwait pada
tanggal 29 Rajab 1404 atau 30 April 1984. Para peserta muktamar tersebut telah
bersepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah mencapai nishab.
3.
Ketentuan zakat profesi
Setiap jenis zakat mempunyai nishab yang menjadi
batas minimal timbulnya kewajiban mengeluarkan zakat. Adapun mengenai nishab
zakat profesi terdapat tiga pendapat terhadapnya, sebagaimana yang penulis
simpulkan dari buku Zakat dalam Perekonomian Modern [8]Yang pertama menganalogikan
zakat profesi kepada zakat perdagangan, sehingga nishabnya adalah 85 gram emas,
kadar zakatnya 2,5 persen dan dikeluarkan setahun sekali setelah dikurangi
kebutuhan pokok. Yang kedua menganalogikan kepada zakat pertanian dengan nishab
senilai 653 kilogram padi atau gandum dengan kadar zakat 5 persen dan
dikeluarkan setiap kali mendapatkan penghasilan atau gaji. Dan yang terakhir
menyandarkan analogi zakat profesi kepada zakat rikaz, sehingga
tidak ada nishab pada zakat profesi dan dikeluarkan dengan kadar 20 persen
setiap kali menerima penghasilan atau gaji.
4.
Kontroversi zakat
profesi
Zakat profesi merupakan hal baru di dunia Islam
yang muncul belakangan ini. Pro dan kontra mewarnai perdebatan mengenai hal
tersebut. Selain pihak yang menyepakati adanya zakat profesi juga terdapat
pihak lain yang menolak keberlakuan zakat model iniPihak yang kontra terhadap
zakat profesi berdalih bahwa zakat berikut jenis-jenisnya adalah bentuk
ibadah tauqifi, yakni ibadah yang telah ditetapkan oleh ajaran
agama sehingga tidak boleh diutak-atik. Selain itu ada juga yang menyatakan
kekeliruan terhadap qiyas zakat profesi, khususnya terhadap
kalangan yang mengqiyaskan zakat profesi kepada zakat pertanian
secara universal, yang mana hasil pertanian baru dapat dipanen
sekitar 2-3 bulan dan kadar zakatnya adalah 5 persen untuk yang diairi dan 10
persen untuk yang tidak diairi, sedangkan untuk kadar zakat profesi yang
ditentukan dipungut setiap bulan saja masih diperdebatkan. Kelompok ini juga
mengatakan bahwa menganalogikan zakat profesi kepada zakat rikaz adalah
bentuk kezhaliman, hal itu disebabkan kebutuhan manusia berbeda-beda dan
dipenuhi melalui penghasilan atau gaji yang ia dapatkan tersebut dan jika harus
dipotong 20 persen setiap bulan maka ia akan mengalami kesulitan di dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menanggapi pernyataan pihak yang kontra terhadap
zakat profesi, penulis beranggapan bahwa argumen yang mereka berikan dapat
diambil hikmahnya. Allah telah berfirman di dalam surat Al Baqarah ayat 219
yang pada intinya menentukan secara umum bahwa zakat diambil dari hasil
kelebihan dari kebutuhan, tak terkecuali penghasilan dari profesi. Adapun
orang-orang yang justru kekurangan dalam hal pemenuhan kebutuhan maka baginya
tidak ada kewajiban zakat. Penulis berpendapat bahwasanya zakat profesi tetap
dibebankan kepada mukallaf yang memiliki pekerjaan atau
seorang professional, sebagaimana argumen dan landasan hukum yang telah penulis
paparkan pada pembahasan sebelumnya.
Adapun zakat profesi lebih utama diqiyaskan
kepada zakat emas atau zakat perdagangan dan zakat hasil pertanian. Namun
khusus untuk pekerjaan bernilai prestise yang tinggi, seperti
pejabat, artis, dokter, dan yang lainnya, yang merupakan bentuk komoditi paling
menguntungkan saat ini dapat lebih diharapkan untuk menyadari diri untuk
mengqiyaskan kepada zakat pertanian, yang juga merupakan komoditi terlaris pada
zaman perkembangan Islam di Madinah, dengan kadar 5 persen (disebabkan profesi
merupakan pekerjaan yang menggunakan keahlian dan tenaga manusia) yang
dikeluarkan setiap bulan atau setiap mendapatkan penghasilan.
B. Profesi yang Di Zakati
Barangkali
bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang
diperoleh dari pekerjaan dan profesinya. Pekerjaan yang menghasilkan uang ada
dua macam.
Yang
pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada
orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh
dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang
doktor, insinyur, advokat seniman, penjahit, tukang kayu dan lain-lainnya.[9]
Yang kedua,
adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain-baik pemerintah,
perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan
tangan, otak, ataupun kedua-duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu
berupa gaji, upah, ataupun honorarium.
Penghasilan dan
profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita
berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab
tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara
dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-tengah kita dapat menyimpulkan bahwa
dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil
penghasilan setiap tahun, karena hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun
bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut. Berdasar hal itu, kita
dapat menetapkan hasil penghasilan sebagai sumber zakat, karena terdapatnya
illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fikih sah, dan nisab, yang merupakan
landasan wajib zakat.
Dan karena Islam
mempunyai ukuran bagi seseorang – untuk bisa dianggap kaya - yaitu 12 Junaih
emas menurut ukuran Junaih Mesir lama maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat
seseorang untuk terkena kewajiban zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang
kaya yang wajib zakat dan orang miskin penerima zakat.
Dalam hal ini,
mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah senisab itu cukup terdapat pada
awal dan akhir tahun saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan
itu harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil penghasilan dan
profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya dan siapa yang
tergolong miskin, seorang pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan
tersebut.[10]
Mengenai besar
zakat, Penghasilan dan profesi dalam fikih masalah khusus mengenai penyewaan.
Seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup
nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya
tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan,
dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab.
Hal itu sesuai
dengan apa yang telah kita tegaskan lebih dahulu, bahwa jarang seseorang
pekerja yang penghasilannya tidak mencapai nisab seperti yang telah kita
tetapkan, meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup pada akhir
tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab yang telah berumur
setahun.
Akibat dari
tafsiran itu, kecuali yang menentang, adalah bahwa zakat wajib dipungut dari
gaji atau semacamnya sebulan dari dua belas bulan. Karena ketentuan wajib zakat
adalah cukup nisab penuh pada awal tahun atau akhir tahun.
Pendapat
guru-guru besar tentang hasil penghasilan dan profesi dan pendapatan dari gaji
atau lain-lainnya yaitu kekayaan yang diperoleh seseorang Muslim melalui bentuk
usaha baru yang sesuai dengan syariat agama. Jadi pandangan fikih tentang
bentuk penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah "harta penghasilan."
Sekelompok sahabat berpendapat bahwa kewajiban zakat kekayaan tersebut
langsung, tanpa menunggu batas waktu setahun.
Yang diperlukan
zaman sekarang ini adalah menemukan hukum pasti "harta penghasilan"
itu, oleh karena terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa
hasil penghasilan, profesi, dan kekayaan non-dagang dapat digolongkan kepada
"harta penghasilan" tersebut. Bila kekayaan dari satu kekayaan, yang
sudah dikeluarkan zakatnya, yang di dalamnya terdapat "harta
penghasilan" itu, mengalami perkembangan, misalnya laba perdagangan dan
produksi binatang ternak maka perhitungan tahunnya disamakan dengan perhitungan
tahun induknya. Hal itu karena hubungan keuntungan dengan induknya itu sangat
erat.
Berdasarkan hal
itu, bila seseorang sudah memiliki satu nisab binatang ternak atau harta
perdagangan, maka dasar dan labanya bersama-sama dikeluarkan zakatnya pada
akhir tahun. Ini jelas. Berbeda dengan hal itu, "harta penghasilan"
dalam bentuk uang dari kekayaan wajib zakat yang belum cukup masanya setahun,
misalnya seseorang yang menjual hasil tanamannya yang sudah dikeluarkan
zakatnya 1/10 atau 1/20, begitu juga seseorang menjual produksi ternak yang
sudah dikeluarkan zakatnya, maka uang yang didapat dari harga barang tersebut
tidak dikeluarkan zakatnya waktu itu juga. Hal itu untuk menghindari adanya
zakat ganda, yang dalam perpajakan dinamakan "Tumpang Tindih Pajak."
Yang jelas
pendapat tersebut diatas adalah pendapat ulama- ulama fikih meskipun yang
terkenal banyak di kalangan para ulama fikih itu adalah bahwa masa setahun
merupakan syarat mutlak setiap harta benda wajib zakat, harta benda perolehan
maupun bukan. Hal itu berdasarkan hadis-hadis mengenai ketentuan masa setahun
tersebut dan penilaian bahwa hadis-hadis tersebut berlaku bagi semua
kekayaan termasuk harta hasil usaha.
C. Ketentuan-ketentuan
Zakat Profesi
Istilah zakat
profesi adalah baru, sebelumnya tidak pernah ada seorang 'ulamapun yang
mengungkapkan dari dahulu hingga saat ini, kecuali Syaikh Yusuf Qaradhowy
menuliskan masalah ini dalam kitab Zakat-nya, kemudian di taklid (diikuti tanpa
mengkaji kembali kepada nash yang syar'i) oleh para pendukungnya, termasuk di
Indonesia ini.
Dalam ketentuan zakat profesi terdapat
beberapa kemungkinan dalam menentukan nishab, kadar, dan waktu mengeluarkan
zakat profesi. Hal ini tergantung pada qiyas (analogi) yang dilakukan :
Yang
pertama, Jika dianalogikan pada zakat perdagangan, maka nishab, kadar, dan
waktu mengeluarkannya sama dengannya dan sama pula dengan zakat emas dan perak.
Nishabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 % dan waktu
mengeluarkannya setahun sekali, setelah dikurangi kebutuhan pokok. Cara
menghitung misalnya : jika si A berpenghasilan Rp 5.000.000,00 setiap bulan dan
kebutuhan pokok perbulannya sebesar Rp 3.000.000,00 maka besar zakat yang
dikeluarkan adalah 2,5 % x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp 600.000,00
pertahun /Rp 50.000,00 perbulan.
Yang
kedua, Jika dianalogikan pada zakat pertanian, maka nishabnya senilai 653
kg padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5 % dan dikeluarkan pada
setiap mendapatkan gaji atau penghasilan. Misalnya sebulan sekali. Cara
menghitungnya contoh kasus di atas, maka kewajiban zakat si A adalah sebesar 5%
x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp 1.200.000,00 pertahun / Rp 100.000,00
perbulan.
Yang
ketiga, Jika dianalogikan pada zakat rikaz, maka zakatnya sebesar
20 % tanpa ada nishab, dan dikeluarkan pada saat menerimanya.[11]
Cara menghitungnya contoh kasus di atas, maka si A mempunyai kewajiban
berzakat sebesar 20 % x Rp 5.000.000,00 atau sebesar Rp 1.000.000,00 setiap
bulan.
Mengenai waktu
pengeluaran zakat profesi ini beberapa ulama berbeda pendapat sebagai
berikut:
Pendapat As-Syafi'i dan Ahmad
mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat
Pendapat Abu
Hanifah, Malik dan ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf
mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh,
kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai
nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat.
Pendapat Ibnu
Abbas, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz dan ulama modern seperti Yusuf Qardhawi
tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan
harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap
waktu panen.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Zakat profesi
adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi ( guru,
dokter, aparat, dan lain-lain ) atau hasil profesi bila
telah sampai pada nisabnya
Profesi yang
dizakati adalah profesi yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada
orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Dan profesi yang dikerjakan
seseorang buat pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan
memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya
Ketentuan-ketentuan
zakat profesi adalah ditentukan batas minimal nishab danharus menjalani
haul (putaran satu tahun)
Ada tiga pendapat mengenai nishab zakat profesi,
Pertama menganalogikan zakat profesi kepada zakat perdagangan, sehingga
nishabnya adalah 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 persen dan dikeluarkan setahun
sekali setelah dikurangi kebutuhan pokok. Yang kedua menganalogikan kepada
zakat pertanian dengan nishab senilai 653 kilogram padi atau gandum dengan
kadar zakat 5 persen dan dikeluarkan setiap kali mendapatkan penghasilan atau
gaji. Dan yang terakhir menyandarkan analogi zakat profesi kepada zakat rikaz,
sehingga tidak ada nishab pada zakat profesi dan dikeluarkan dengan kadar 20
persen setiap kali menerima penghasilan atau gaji.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi dan Yeni Priyatna Sari, Zakat,
Pajak, dan Lembaga Keuangan Islami dalam Tinjauan Fiqih, Solo: Era
Intermedia.
Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan
Pemberdayaan Zakat, cet. II, Yogyakarta: Pilar Media, 2006.
Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi &
Fiqh Kontemporer, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.
Hafiuddin,
Didin Zakat Infaq Sedekah, Gema Insani Press: Jakarta, 1999
Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Maram
(terjemah), cet. V, Solo: At Tibyan, 2011.
Daradjat,
Zakiah. Zakat Pembersih Harta Dan Jiwa, CV. Puhama: Jakarta, 1996
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam
Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Al Juhairi,
Wahab. Zakat Kajian Berbagai Madzhab, PT. Remaja Rosdakarya:
Bandung, 1995
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, cet. IX, Bogor: Pustaka
Litera AntarNusa, 2006.
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, cet. V, Jakarta: Kalam
Mulia, 2005.
Muhammad, Zakat
Profesi, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.
iii
[1] Hassan Saleh, Kajian
Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, h.
157.
[5] Ahmadi dan Yeni Priyatna
Sari, Zakat, Pajak, dan Lembaga Keuangan Islami dalam Tinjauan Fiqih,
Solo: Era Intermedia, 2004, h. 58.
[7] Abdul Ghofur
Anshori, Hukum dan Pemberdayaan Zakat, cet. II, Yogyakarta: Pilar
Media, 2006, h. 89.
[10] Wahab
Al Juhairi, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, ( PT. Remaja Rosdakarya:
Bandung, 1995 ), hal. 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar